Tema perjalanan kali ini adalah
unplanned trip, jadi ke mana tujuan perginya baru akan ditentukan pada saatnya.
Saya pergi dengan dua anak laki-laki saya dan kami punya waktu 3 hari. Sehari
sebelum keberangkatan, kami memutuskan arah perjalanan: ke timur. Karena
inginnya bisa berkunjung ke sebanyak mungkin tempat dalam waktu yang tersedia,
maka saya memikirkan tempat-tempat mana saja yang bisa dikunjungi dalam
perjalanan berangkat. Akhirnya pilihan jatuh pada Sarangan. Pertimbangannya,
saya sudah lama sekali tidak ke Sarangan, dan kedua, tanjakan
Tawangmangu-Cemorosewu cukup menantang naluri driving saya.
Hari Pertama, 25 Desember 2013. Kami berangkat dari rumah jam 7
pagi, langsung menuju Sarangan via Solo dan Tawangmangu. Perjalanan lancar,
jalan juga relatif bagus. Sesampai di Tawangmangu saya tawarkan anak-anak untuk
mampir ke air terjun, tetapi mereka tidak mau, jadi kami langsung ke Sarangan.
Selepas Tawangmangu, jalan menyempit dan langsung menanjak tajam, tapi kondisi
aspal cukup halus. Tanjakan dan kelokan kami tempuh sampai Cemorosewu di
perbatasan provinsi Jateng-Jatim. Setelah itu jalan mulai menurun, dan yang
agak mengagetkan saya, jalannya cukup lebar dengan aspal hotmix yang mulus.
Udara yang segar plus pemandangan yang menghijau di sepanjang jalan membuat
saya jatuh cinta pada rute ini.
Kami sampai di Sarangan
menjelang jam 11, dan saya agak kecewa dengan kondisi Sarangan saat ini. Memori
saya tentang Sarangan adalah 35 tahun yang lalu, saat Sarangan masih sepi dan
telaganya masih alami. Kemarin, Sarangan yang saya temui sudah penuh sesak
dengan losmen, kios, dan gelaran dagangan, bahkan sampai pinggir danau.
Keinginan menikmati telaga Sarangan langsung pupus, apalagi saat itu gerimis
turun. Kami cuma berteduh di warung di pinggir telaga saja.
Akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan, tapi kami harus menentukan dulu ke mana tujuan berikutnya. Ada dua
pilihan jenis obyek: pantai atau gunung. Kalau ke pantai, berarti harus ke arah
selatan (Ponorogo lalu ke Pacitan atau Trenggalek). Saya agak malas karena saya
tahu jalan menuju pantainya sempit dan rusak. Akhirnya diputuskan ke gunung
saja. Gunung mana? Bromo masih terlalu jauh, dan pilihanpun kemudian jatuh ke
Gunung Kelud. Okay, next destination adalah Gunung Kelud. Tapi sampai sana
pasti sudah sore, lebih baik besok paginya saja, malam ini menginap somewhere
dulu.
Pilihan menginap ada 2: Kediri
atau Blitar. Akhirnya saya putuskan menginap di Blitar karena saya ingin ke
rumah Bung Karno yang ada di sana. Jadi dari Sarangan kami terus ke Blitar via
Madiun, Nganjuk, dan Kediri.
Perjalanan ke Blitar lancar-lancar
saja. Karena kami menyusuri jalan protokol, secara umum kualitas jalannya juga
bagus. Kami sampai Blitar sekitar jam 16. Menjelang masuk kota, saya hunting
hotel dulu. Mbah Google sungguh sangat membantu dalam hal-hal seperti ini.
Akhirnya kami dapat kamar di hotel Tugu yang berlokasi di Jalan Merdeka Blitar.
Sebelum ke hotel, kami mampir
ke rumah keluarga Bung Karno dulu. Rumah tua, tapi terawat karena dijadikan
museum. Banyak foto dan peninggalan keluarga Bung Karno yang dipamerkan di sana, termasuk sebuah mobil Mercedez kuno, entah buatan tahun berapa. Kalau suka sejarah,
tempat ini layak dikunjungi. Setelah dari rumah ini, sebenarnya saya ingin ke makam Bung Karno, tetapi ternyata agak jauh sementara hari sudah menjelang maghrib. Akhirnya kami bersepakat untuk langsung ke hotel saja.
Kesan pertama saat masuk ke
halaman hotel Tugu: creepy. Pintu masuknya dipenuhi akar beringin.
Pintu masuk hotel |
Bangunannya
tua, dan rimbunnya tanaman membuat suasana menjadi ‘singup’, apalagi tidak banyak lampu sehingga suasana menjadi
temaram. Kalau anda peka terhadap ‘dunia lain’, mungkin anda akan melihat
tempat ini seperti pasar malam saking ramenya penghuni…Anyway, kami bukan tipe
orang-orang yang peka, jadi kami bisa menikmati suasana oldies seperti itu.
Meja di 'lounge' hotel |
Akar beringin di mana-mana |
Hotel ini sebenarnya menarik. Semuanya ditata untuk memberikan kesan kuno. Bahkan lounge tempat kami disuguh welcome drink pun menggunakan meja kayu yang catnya sudah mengelupas dan kaki-kakinya tidak sama panjang (orang Jawa mengatakan 'oyag-ayig'). Hotel ini juga punya kamar kelas presidential suite (katanya pak SBY pernah menginap di sini) yang tarifnya hampir Rp 3 juta per malam. Saya sih tidak ingin tidur di situ, karena ranjangnya tinggi banget. Kalau ngelindur dan jatuh, pasti sakit sekali. Karena capek, malamnyapun kami tidur dengan pulasnya (di kamar kelas biasa tentunya), tidak peduli mungkin saja di dunia paralel di tempat yang sama ada keramaian pasar malam...
Hari Kedua, 26 Desember 2013. Pagi-pagi saya sudah mengeksplorasi
rute ke Gunung Kelud. Rute yang umum adalah lewat Kediri, tapi rute terdekat
bisa langsung ke Gunung Kelud via Penataran. Saya memilih opsi kedua.
Rute Blitar-Gn Kelud |
Pada akhirnya kami bertemu
dengan jalan Kediri-Kelud yang lebih lebar dan bagus. Selepas ini, perjalanan
ke puncak Kelud dilalui dengan tenang. Mobil bisa sampai di puncak, dan dari
tempat parkir sampai ke obyek wisatanya hanya berjarak kira-kira 200m.
Kubah lava Kelud, zoomed |
Tidak salah kami mengunjungi
puncak Kelud. Pemandangannya breathtaking.
Kami bisa mendekat sampai kawah, di sana ada lava dome atau puncak lava yang terbentuk pasca letusan tahun 90an.
Selain kawah, sebenarnya ada juga gardu pandang dan pemandian air panas, tetapi
keduanya harus ditempuh dengan energi ekstra. Saya sebenarnya ingin
mengeksplorasi ke kedua spot tersebut, tapi karena anak-anak tidak mau, akhirnya kamipun balik ke
mobil.
Kubah lava Kelud, panoramic view |
Menuju air panas |
Kata beberapa orang, puncak
Kelud paling baik dikunjungi saat awan turun cukup rendah. Di titik-titik
tertentu pada jalan menuju puncak, posisi jalan diapit oleh lembah dan jurang
di kiri kanannya. Jika lembah itu tertutup awan, mobil kita seakan-akan berada
di atasnya. Sensasinya seperti berjalan di atas awan, begitu informasi yang
saya terima. Tapi memang sulit memperkirakan kapan suasana seperti itu terjadi.
Setelah dari Kelud, kami menuju
Malang. Destinasi berikutnya sudah ditentukan: Bromo, dan kami akan naik ke
Bromo pada hari Jumat 27 Desember pagi-pagi.
Saya memilih rute
Kelud-Pare-Batu-Malang. Saya sengaja memilih rute ini karena menyuguhkan
pemandangan yang lebih menarik, tapi ternyata sesampai di Batu, kami terjebak
macet. Seharusnya saya memperhitungkan hari itu adalah masa liburan, dan Batu
adalah daerah tujuan wisata primer bagi masyarakat Jawa Timur. Oh ya, kami
makan siang di Rumah Makan Sate Kelinci, sekitar 3-4 km ke arah timur Batu.
Satenya empuk, disajikan secara hotplate. Bagi penggemar sate, menunya
recommended sekali.
Kami sampai di Malang sekitar
jam 4 sore, terus langsung ke hotel untuk beristirahat. Untuk perjalanan ke
Bromo, saya tidak ingin menyetir mobil sendiri karena medannya cukup berat dan
harus berangkat malam hari, sementara besok paginya masih harus menempuh
perjalanan pulang ke Yogya. Saya mencari jasa tour saja, alhamdulillah masih
ada mobil yang bisa disewa (saat itu adalah peak
season dan banyak persewaan mobil yang fully
booked).
Kami berangkat dari hotel hari
Jumat dini hari jam 00.30. Perjalanan sampai base camp ditempuh selama hampir 2
jam. Dari tempat parkir di base camp, kami berganti kendaraan jeep hardtop,
menuju Penanjakan 1 (puncak tertinggi untuk menonton matahari terbit). Setelah
melewati jalanan sempit berliku selama kira-kira 1 jam, kami sampai ke puncak
Gunung Penanjakan. Karena masih belum waktunya, kami duduk-duduk di warung
sambil menikmati makanan dan minuman hangat. Pengunjungpun semakin banyak.
Akhirnya sekitar jam 4 pagi kami menuju gardu pandang. Di sana sudah banyak
orang, untungnya kami masih mendapatkan spot untuk duduk. Sementara itu pengunjung
masih mengalir memenuhi area gardu pandang, membuat suasana menjadi sesak.
Sekitar jam 4.25 fajar mulai
merekah. Orang-orang mulai berdiri, kamera mulai beraksi. Prosesi ini
berlangsung kira-kira 30 menit sampai matahari benar-benar muncul. Sejujurnya, bagi saya sunrise kali itu bukanlah yang paling
spektakuler karena cukup banyak awan yang menghalangi wujud sang surya.
Karena suasana semakin riuh dan
sesak, kami menyingkir dari gardu pandang, dan malah menemukan spot yang bagus
untuk memotret. Keluar dari gardu pandang, ada tebing yang cukup lebar untuk
berdiri mengambil gambar. Dari spot itu terlihat Semeru, Bromo, Butak, dan
lautan pasir membentuk suatu komposisi yang menawan.
Semeru, Bromo, Butak, dan lautan pasir, panoramic view |
Semeru, Bromo, Butak, dan lautan pasir, HDR processed |
Kawah Bromo, zoomed dari puncak Penanjakan 1 |
Lautan pasir Bromo, panoramic view |
Setelah dari puncak Penanjakan,
kami kembali ke jeep dan melanjutkan perjalanan ke lautan pasir. Di sini baru terlihat betapa banyaknya pengunjung Bromo pada hari itu. Jejeran jeep lebih dari 100 mobil, diparkir di lautan pasir. Dari sini bisa
berjalan kaki atau naik kuda menuju kawah Bromo, tapi kami tidak melakukannya.
Pura Hindu di Bromo |
Menuju kawah Bromo, zoomed |
Setelah puas berjalan-jalan dan
menikmati udara pagi yang segar, kamipun kembali ke hotel di Malang. Setelah
beristirahat sebentar di hotel, akhirnya sekitar jam 12 siang kami melanjutkan
perjalanan pulang ke rumah. Saya tidak ingin lewat Batu atau rute mainstream
(Lawang-Purwodadi-Mojokerto-Jombang, dan seterusnya). Satu-satunya pilihan
adalah lewat rute selatan: Wlingi-Blitar-Trenggalek, dan seterusnya. Sesampai
di Ponorogo saya dihadapkan pada dua pilihan: lewat Wonogiri atau terus ke
Madiun lalu Magetan-Sarangan dan seterusnya. Karena saya suka rute
Sarangan-Tawangmangu dan saya juga ragu-ragu dengan rute Ponorogo-Wonogiri,
akhirnya saya kembali menggunakan rute Ponorogo-Madiun-Magetan-Tawangmangu-Solo
dan seterusnya. Hari sudah malam saat kami melewati Sarangan dan Tawangmangu,
cukup excited juga karena jalanan sepi, gelap, dan dingin (AC mobil saya
matikan dan kaca saya buka sedikit). Di tempat-tempat tertentu bulu roma sempat
berdiri juga karena tiba-tiba muncul bau yang menyengat, tapi setelah
dicermati, ternyata itu bau belerang…hehehe
Akhirnya sekitar jam 23.30,
kami tiba dengan selamat di rumah. Sungguh pengalaman perjalanan yang
menyenangkan.
Perjalanan 3 hari, 921 km (menurut Google Maps) |
Catatan akhir:
Biasanya kalau jalan-jalan
seperti ini saya selalu membawa Canon D550 saya, tetapi kali ini yang saya bawa
adalah Samsung Galaxy Camera. Kamera pocket, android-based, tapi punya fitur
serius: screen 4.8 inch, 16 mega pixel, lensa 4.1-86.1mm, 21x zoom, banyak filter, dan aplikasi
photo editing, dan dengan koneksi wifinya, saya bisa upload segera foto-foto
yang saya ambil. Kalau untuk keperluan photo sharing biasa, kualitas gambarnya
sudah sangat memadai, apalagi kita bisa mengedit foto-foto kita langsung di
kamera tsb. Semua foto di tulisan ini diambil dengan kamera Samsung Galaxy dan beberapa photo mode (misal: panoramic dan HDR) dan photo editing juga dilakukan di kamera yang sama.