Pabatu, Tebing Tinggi, 11 Januari 2008
Tanggal 10 Januari saya meninggalkan Medan menuju kompleks rumah Nana. Kata mas Deni, sang sopir yang mengantar saya, kira-kira perlu waktu 2 jam lebih dikit untuk sampai ke Pabatu. Dari Tebing (nickname untuk kota Tebing Tinggi) kira-kira 7 km ke arah Pematang Siantar.
Perjalanan cukup lancar. Setelah melewati kota Tebing, kami mengikuti jalan ke Pematang Siantar. Sekitar 7 km kemudian, kami sampai ke area Kebun Pabatu PTPN IV. Melewati kompleks kantor, kami masih terus, sampai ke daerah berbukit. Ternyata kompleks rumah ayah Nana terletak di atas bukit.
Kompleks eks kantor direksi PTPN VI ini memang nyaman untuk ditinggali. Rumah-rumah kuno yang dibangun lebih dari 50 tahun lalu bertebaran. Masing-masing punya halaman yang luas. Hmm... orang-orang kota yang terbiasa dengan flat dan apartemen pastilah iri dengan model rumah seperti ini. Nampaknya dulu kompleks ini memang dirancang untuk menjadi wadah yang mengeratkan komunikasi sosial. Tidak ada pagar pembatas antar rumah. Ada banyak tanah lapang yang bisa dipakai untuk social gathering. Ada pula gedung hiburan (katanya dulu pernah dipakai untuk bowling segala) yang kini sudah rusak. Ada pula sekolah TK yang murid-muridnya kebanyakan adalah pegawai kebun.
Saya tinggal di mess yang besar, yang masih dipakai jika direksi PTP IV datang berkunjung. Mess ini terletak di ujung kompleks, di dekat bangunan TK. Saya suka dengan landscape-nya. Terbuka, datar, dan ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Kesannya tranquil, tenang, dan damai. Sayangnya waktu itu saya sedang tidak dalam mood untuk menikmati ketenangan ini :(
Rumah pak Ramli, ayah Nana, terletak sekitar 300 m dari mess. Kamis sore itu rumahnya sudah mulai berhias, karena malamnya sudah akan dipakai wiridan. Saya datang wiridan jam 19an, ternyata ada 2 ronde :) Saya dapat berkatan juga, tapi terpaksa tidak saya bawa karena malah akan merepotkan nantinya. Yang saya bawa adalah bungkusan kertas kado, yang saya tebak isinya sarung karena Nana pernah cerita. Ternyata tebakan saya benar :D
Esok paginya, hari-H, saya datang pagi-pagi jam 7.30. Saya packing sekalian barang-barang saya, karena mau sekalian pamit langsung ke Polonia siangnya. Rencana semula sih mau pulang hari Sabtu, tapi karena ada sedikit masalah, saya memutuskan pulang awal -- ternyata tiket juga masih bisa diubah. Jam 7.30, rumah masih sepi. Saya motret-motret dulu, dan ngobrol dengan ayah dan uwak Nana. Calon pengantin pria datang jam 8 lebih sedikit, lalu prosesi ijab kabulpun dilaksanakan. Sederhana dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Khotbah nikahnya lucu, apalagi disampaikan dengan logat Batak dan suara yang khas :)
Setelah makan pagi, pengantin pria kembali ke pos mangkalnya di rumah sebelah untuk ganti baju. Pengantin putri juga demikian. Muncul kembali sekitar jam 10, kali ini dengan pakaian adat Tapanuli Selatan. Ingatan saya kembali ke masa 17 tahun yang lalu, saat saya menikah dulu. Istri saya juga pakai kostum adat Lampung yang warnanya merah menyala, sama dengan yang dipakai Nana. Pakai hiasan kepala yang beratnya minta ampun. To tell the truth, waktu itu yang saya lihat bukan istri saya karena wajahnya sama sekali berubah. Nanapun kemarin juga demikian. It didn't look like you. Sorry mbak, ini pendapat jujur saya :)
Sekitar jam 10.30 diumumkan akan ada acara serah-serahan. Sebenarnya saya ingin melihatnya, tapi karena saya masih harus mencari oleh-oleh, maka saya putuskan untuk pamit. Kemarin ada rasa aneh waktu memberi ucapan selamat. Hard to tell, macam permen Nano-Nano, campur aduk gitu. Yang jelas, Nana sekarang bukan lagi Nana yang kemarin. Selamat untuk anda berdua ya... doa saya selalu menyertai...
Foto-foto ada di sini
Saturday, January 12, 2008
Tuesday, January 01, 2008
Dusun Kelor, Turi, Sleman - 31 December 2007
This time our family holiday was filled with something different. Instead of having trips to big cities or tourism objects, we went to a small village just 20 km north of our home. The village, called Kelor, is located in Turi district, on the slope of Mt. Merapi. It is one of some villages promoted by Sleman regency as a tourism village, a tourist attraction with strong flavour of local tradition, food, environment, etc.
When we enter the village, we were greeted with a friendly welcome from our contact person, a local person who works as a marketer for the village. Then we were headed to a home where we would stay. It was owned by a family with 3 children, and our families soon got together easily. The host and hostess were very friendly, and they served us with their best courtesy. Typical warm welcome from villagers.
The village boasts itself with some interesting attractions, but we only tried two of them: trekking along a small river and fishing. The trek is actually for children: the river is small (only 3 m wide) and only 40 cm deep at the max. However, it is very interesting especially for children (and adults too) because the riverbed varies from flat and sandy to steep and rocky. Perfect for small adventures: quite challenging, but no dangerous things. We spent about 2 hrs to follow approximately 300 m trek. The long journey was not because it was difficult, but we had to stop many times waiting for the children enjoying themselves in the river. Oh, and it some parts the scenery is beautiful too. It provides a sense like we are walking in a deep rainforest.
The second attraction, fishing, is absolutely for children only. Don't think about real fishing. There was a 2x2 pool with a lot of fish, so when you throw the bait, you don't have to wait for a second to get a fish... That's quite good for children though, I can see thrilled sensations when the bait was taken by the fish :)
Overall, we were very satisfied with our holiday this time. Something different, and it's also good for my children since they now know that there are different people with different life, values, habits, etc. And one more thing, like other Sleman village, Kelor is also famous for the "salak" fruit.
Subscribe to:
Posts (Atom)