Thursday, September 16, 2010

Perjalanan Mudik: Sebuah Rekor

Seperti tahun-tahun kemarin, saya sekeluarga merencanakan mudik ke Lampung pada sehari setelah Lebaran (H+1). Biasanya kami berangkat pagi-pagi, lalu menginap di sekitar Jakarta sebelum meneruskan perjalanan ke Lampung esok harinya. Normalnya perjalanan Yogya-Lampung ditempuh dalam waktu 2 hari 1 malam.

Sehari sebelum lebaran (hari Kamis), tiba-tiba 3 anak laki-laki saya sakit. Gejalanya seragam: badan panas, batuk, dan meriang. Tentu saja kami tidak bisa membawa anak-anak yg sedang sakit untuk mudik, sehingga terpaksa mudiknya ditunda sampai mereka sembuh. Untunglah penyakitnya tidak serius, jadi 3 hari kemudian mereka sudah mulai sehat kembali.

Akhirnya hari Senin pagi tgl 13 September berangkatlah kami ke Lampung. Berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 karena banyak hal yg harus dipersiapkan. Saya sadar bahwa hari itu diramalkan puncak arus balik khusus PNS (dan mungkin juga karyawan swasta) karena tgl. 14 September mereka sudah harus masuk kantor kembali.

Awalnya perjalanan berasa lancar-lancar saja, tetapi sampai selepas Purworejo, gejala tidak baik mulai terasa. Kemacetan mulai muncul, sehingga Yogya-Kebumen ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam! Kemacetan semakin menjadi di Karanganyar dan selepasnya, sehingga setelah maghrib kami baru lepas dari Wangon (Banyumas). Tadinya saya mau belok ke kanan ke arah Ajibarang utk kemudian lewat jalur utara, tapi pak polisi di perempatan Wangon bilang kalau di Bumiayu macet total, sehingga kami diarahkan lewat jalur selatan. Saya menurut saja, dan akhirnya saya terus saja melewati Majenang dan Banjar. Sekitar jam 9, kami semua sudah capai, dan akhirnya saya memutuskan menginap di Ciamis. Kebetulan ada hotel di pinggir jalan besar, tapi ternyata itu pilihan yg buruk karena saya malah tidak bisa tidur karena suara mobil & motor sepanjang malam membuat saya tidak bisa istirahat dengan baik.

Hari kedua: perjalanan menguji kesabaran.

Kami berangkat dari hotel di Ciamis sekitar jam 9 pagi. Awalnya lancar, tapi begitu masuk daerah Rajapolah (Tasikmalaya), kemacetan mulai terasa. Kemacetan semakin menjadi menjelang masuk Ciawi. Di sini benar-benar berhenti. Kalau diajak balapan sama kura-kura saja, pasti menang kura-kuranya... Walhasil jarak sekitar 35km ditempuh dalam waktu 6 jam. Akhirnya sekitar jam 3 saya memutuskan untuk istirahat di pompa bensin, sekalian mengisi bensin yg sudah kritis. Problemnya ternyata belum selesai: stok premium di semua pompa bensin habis! Akhirnya tetap saja saya masuk ke sebuah pompa bensin yg agak besar, mobil diparkir di situ, dan penumpangnya bergeletakan sambil mencari makan siang... Untungnya 1 jam kemudian stok premiumnya datang, dan 30 menit setelah itu kami berangkat lagi.

Untungnya setelah itu perjalanan lancar. Nagrek dapat saya lewati dengan lancar, melalui jalan baru yg belum lama dibuka. Tapi saat itu kami semua sudah capek fisik dan emosinya. Dari Nagrek saya menyetir mobil tanpa soul. Tangan dan kaki saya seolah bekerja sendiri, tanpa diperintah oleh otak saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di Cikarang, sekitar jam 10 malam, karena semua sudah teler. Menginaplah kami di Hotel Grand Cikarang.

Hari ketiga: mudik dengan lancar

Dari hotel kami berangkat kira-kira jam 9.30. Tujuan: ke Depok, mengantar anak mbarep yang sudah akan masuk sekolah lagi (F. Psikologi UI ternyata lebih rajin daripada JTETI UGM yg baru memulai kuliah tgl 20 Sept). Saya tidak paham jalan-jalan di Jakarta, tapi alhamdulillah ada si Mio yang terpasang di depan saya. Navigator GPS inilah yang membantu saya menunjukkan rute ke Depok (meskipun harus saya setel-setel dulu, karena rute default yg dia sarankan melewati jalan-jalan kecil yang saya blum pernah dengar sebelumnya).

Saat di Depok, hujan turun dengan deras. Saya mulai khawatir kalau macet akibat jalanan banjir. Untungnya daerah Depok, Margonda, dan JORR bukanlah daerah banjir, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan dengan aman.

Akhirnya jam 16.30 saya sampai di Merak. Pelabuhan ferry tidak begitu ramai, dan perjalanan menyeberang ke Bakauheni juga cepat. Hanya dalam waktu 2 jam kapal sudah docking di dermaga Bakauheni, dan saya keluar dari kapal kira-kira menjelang pukul 19.00. Dari Bakauheni ke Bandarlampung, yang ramai adalah arus baliknya. Sepertinya pemudik lebih suka menyeberang saat malam hari karena tidak panas.

Begitu menapak di bumi Lampung, saya benar-benar ingin segera sampai ke rumah ibu mertua. Pikiran cuma satu: ingin tidur sepuasnya. Stream saya pacu dengan cepat. Yang tadinya keluar kapal urutan ke sekian, sampai di Tarahan sudah jadi yang terdepan...Akhirnya sekitar jam 20.45 tibalah saya di tujuan dengan selamat. Dan sebelum tidur, istri saya mengaku kalau tadi dia sebenarnya agak takut karena saya ngebut sekali... :)

Inilah perjalanan mudik terpanjang saya: Yogya-Lampung dalam 3 hari 2 malam...

Sunday, April 04, 2010








Pantai-Pantai di Gunung Kidul (Maret - April 2010)

Sudah lama sebenarnya saya ingin menjelajahi pantai-pantai di Gunungkidul. Banyak sumber mengatakan bahwa Kabupaten Gunungkidul memiliki beberapa pantai yang mempesona. Akhirnya tgl 16 Maret 2010 kemarin tibalah kesempatan itu. Saat libur Nyepi, saya, istri, dan 3 jagoan kecil kami berangkat menuju ke daerah di selatan Yogyakarta tersebut.

Perjalanan dimulai pagi sekitar jam 6.30. Tujuan pertama semula adalah Baron, tetapi ternyata saya salah jalan. Kalau mau ke Baron, harusnya di kota Wonosari belok ke selatan, tetapi saya kebablasan ke timur cukup jauh. Akhirnya rute diubah, kami ke pantai di sebelah timur dulu. Rute ke Wediombo cukup jelas, ikuti saja petunjuk jalannya yang cukup banyak tersedia sepanjang jalan. Sekitar jam 8.30, sampailah kami ke Wediombo. Masih sepi di sana, belum ada orang. Profil pantai Wediombo adalah bebatuan, cukup menarik untuk lokasi pemotretan (terutama bagi yang narsis...hehehe).

Kami tidak lama di Wediombo, seterusnya melanjutkan perjalanan ke pantai Siung. Sudah agak panas ketika kami sampai di Siung. Menurut saya, pantai ini biasa-biasa saja. Tidak ada artifak alam yg menonjol, tapi krn anak-anak sudah ingin sekali main air, maka kami berhenti agak lama di sini. Setelah lelah bermain, anak-anak minta makan siang. Ada beberapa warung makan di sini, tapi menunya terbatas ikan dan jenisnyapun tidak banyak. Saran saya, kalau mau makan, pesan dulu saja karena proses memasaknya lama (terutama kalau ikannya minta dibakar).

Setelah dari Siung, kami terus ke Sundak. Pantai yg katanya namanya berasal dari kata "asu" dan "landak" ini cukup bagus, terutama kalau sedang surut airnya. Hamparan pasirnya cukup panjang dan lebar, tapi kalau mau mandi harus hati-hati karena di pinggir pantai banyak koral yang bisa menyebabkan luka jika terjatuh.

Kami tidak tahu kalau sebenarnya pantai Sundak ini sudah dekat dengan pantai Krakal (jika dilihat di Wikimapia.org, kelihatan kalau kedua pantai ini sebenarnya bersebelahan). Karena hari sudah menjelang sore dan anak-anak sudah kelelahan, akhirnya saya memutuskan pulang ke Yogya. Pantai-pantai lain yang belum tersinggahi akan kami kunjungi di lain waktu.

Jumat, 2 April 2010.

Akhirnya kesempatan keduapun datang. Hari Jumat 2 April 2010 adalah libur wafat Isa Almasih. Kamipun berangkat setelah makan siang. Kali ini saya menempuh jalan yang benar, menuju Baron. Setelah sampai di Baron, kami tidak langsung ke pantainya, tetapi menyusuri jalan ke Kukup. Ternyata jalan ini adalah jalan yg menghubungkan banyak pantai yg lain: termasuk Sepanjang, Drini, Krakal, Sundak, dan seterusnya sampai Wediombo. Jadi sebenarnya mudah untuk mengakses pantai-pantai ini. Ikuti jalan ke pantai Baron (Baron adalah pantai yang paling barat dari sederetan pantai-pantai ini), lalu sebelum masuk ke Baron belok kiri. Pantai pertama setelah Baron adalah Kukup.

Kami menyusuri jalan ini sampai ke pantai Krakal. Pantai Krakal cukup luas dan memiliki bentangan yang lebar. Saat kami sampai ke sana, airnya sedang surut. Banyak orang mencari hewan-hewan kecil utk dibuat makanan (rempeyek dsb). Kalau anda suka fotografi dan punya lensa wide angle, berdiri di titik di tengah bentangan pantai akan memberikan view yang indah, apalagi kalau sedang surut airnya. Hamparan pasir yang cukup luas juga memberikan berbagai peluang fotografi yang mempesona, apalagi dikombinasikan dengan suasana sunset atau sunrise.

Setelah puas di Krakal, kami langsung ke Baron untuk mencari penginapan. Tidak ada hotel yang cukup representatif, jadinya kami menginap di losmen sederhana. Seperti telah diduga sebelumnya, di losmen seperti ini "apapun bisa terjadi", termasuk pasangan-pasangan yang masih sangat muda yang check-in dengan santainya...hehehe...Untung anak2 kami masih kecil, sehingga kami tidak direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit :p

Besok paginya, sebelum sarapan, kami jalan lagi. Jam 6.30 sudah berangkat, menuju Drini. Karena masih pagi, maka belum banyak orang, dan pantainya kelihatan indah. Apalagi di Drini ada satu spot yang tergenang air tetapi tidak kena ombak. Dengan angle yang pas, air yang tenang ini bisa dimanfaatkan untuk membuat efek mirror yang indah, dengan obyek ombak dan langit di backgroundnya. Di Drini kita juga bisa naik ke atas bukit, yang meskipun tidak terlalu tinggi tapi menawarkan view yang breathtaking...

Puas di Drini, kami pulang ke losmen, makan pagi, mandi, lalu checkout. Sebelum pulang, kami mampir ke Kukup. Kukup pantai yang indah juga, apalagi jika dilihat dari gardu pandang yang sengaja dibangun di atas karang yang menjorok ke laut.

Akhirnya menjelang tengah hari kami pulang ke Yogya dengan puas. Berdasarkan pengalaman saya, sebenarnya obyek-obyek pantai di Gunungkidul ini bagus-bagus, dan bisa diakses dengan mudah. Jika mau, paling tidak 5-6 pantai bisa dikunjungi dalam satu hari. Rute bisa dimulai dari timur (Wediombo) ke barat (Baron) atau sebaliknya. Jika ingin tour seperti ini, disarankan berangkat dari Yogya pagi-pagi benar (sebelum jam 6 pagi).

Foto-foto tentang pantai-pantai tersebut bisa diakses di Web Album Picasa saya.