Saturday, January 04, 2014

Unplanned Trip: Jawa Timur 25-27 December 2013


Tema perjalanan kali ini adalah unplanned trip, jadi ke mana tujuan perginya baru akan ditentukan pada saatnya. Saya pergi dengan dua anak laki-laki saya dan kami punya waktu 3 hari. Sehari sebelum keberangkatan, kami memutuskan arah perjalanan: ke timur. Karena inginnya bisa berkunjung ke sebanyak mungkin tempat dalam waktu yang tersedia, maka saya memikirkan tempat-tempat mana saja yang bisa dikunjungi dalam perjalanan berangkat. Akhirnya pilihan jatuh pada Sarangan. Pertimbangannya, saya sudah lama sekali tidak ke Sarangan, dan kedua, tanjakan Tawangmangu-Cemorosewu cukup menantang naluri driving saya.
Hari Pertama, 25 Desember 2013. Kami berangkat dari rumah jam 7 pagi, langsung menuju Sarangan via Solo dan Tawangmangu. Perjalanan lancar, jalan juga relatif bagus. Sesampai di Tawangmangu saya tawarkan anak-anak untuk mampir ke air terjun, tetapi mereka tidak mau, jadi kami langsung ke Sarangan. Selepas Tawangmangu, jalan menyempit dan langsung menanjak tajam, tapi kondisi aspal cukup halus. Tanjakan dan kelokan kami tempuh sampai Cemorosewu di perbatasan provinsi Jateng-Jatim. Setelah itu jalan mulai menurun, dan yang agak mengagetkan saya, jalannya cukup lebar dengan aspal hotmix yang mulus. Udara yang segar plus pemandangan yang menghijau di sepanjang jalan membuat saya jatuh cinta pada rute ini.
Kami sampai di Sarangan menjelang jam 11, dan saya agak kecewa dengan kondisi Sarangan saat ini. Memori saya tentang Sarangan adalah 35 tahun yang lalu, saat Sarangan masih sepi dan telaganya masih alami. Kemarin, Sarangan yang saya temui sudah penuh sesak dengan losmen, kios, dan gelaran dagangan, bahkan sampai pinggir danau. Keinginan menikmati telaga Sarangan langsung pupus, apalagi saat itu gerimis turun. Kami cuma berteduh di warung di pinggir telaga saja.
Akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan, tapi kami harus menentukan dulu ke mana tujuan berikutnya. Ada dua pilihan jenis obyek: pantai atau gunung. Kalau ke pantai, berarti harus ke arah selatan (Ponorogo lalu ke Pacitan atau Trenggalek). Saya agak malas karena saya tahu jalan menuju pantainya sempit dan rusak. Akhirnya diputuskan ke gunung saja. Gunung mana? Bromo masih terlalu jauh, dan pilihanpun kemudian jatuh ke Gunung Kelud. Okay, next destination adalah Gunung Kelud. Tapi sampai sana pasti sudah sore, lebih baik besok paginya saja, malam ini menginap somewhere dulu.
Pilihan menginap ada 2: Kediri atau Blitar. Akhirnya saya putuskan menginap di Blitar karena saya ingin ke rumah Bung Karno yang ada di sana. Jadi dari Sarangan kami terus ke Blitar via Madiun, Nganjuk, dan Kediri.
Perjalanan ke Blitar lancar-lancar saja. Karena kami menyusuri jalan protokol, secara umum kualitas jalannya juga bagus. Kami sampai Blitar sekitar jam 16. Menjelang masuk kota, saya hunting hotel dulu. Mbah Google sungguh sangat membantu dalam hal-hal seperti ini. Akhirnya kami dapat kamar di hotel Tugu yang berlokasi di Jalan Merdeka Blitar.
Sebelum ke hotel, kami mampir ke rumah keluarga Bung Karno dulu. Rumah tua, tapi terawat karena dijadikan museum. Banyak foto dan peninggalan keluarga Bung Karno yang dipamerkan di sana, termasuk sebuah mobil Mercedez kuno, entah buatan tahun berapa. Kalau suka sejarah, tempat ini layak dikunjungi. Setelah dari rumah ini, sebenarnya saya ingin ke makam Bung Karno, tetapi ternyata agak jauh sementara hari sudah menjelang maghrib. Akhirnya kami bersepakat untuk langsung ke hotel saja.

Kesan pertama saat masuk ke halaman hotel Tugu: creepy. Pintu masuknya dipenuhi akar beringin. 
Pintu masuk hotel
Bangunannya tua, dan rimbunnya tanaman membuat suasana menjadi ‘singup’, apalagi tidak banyak lampu sehingga suasana menjadi temaram. Kalau anda peka terhadap ‘dunia lain’, mungkin anda akan melihat tempat ini seperti pasar malam saking ramenya penghuni…Anyway, kami bukan tipe orang-orang yang peka, jadi kami bisa menikmati suasana oldies seperti itu. 

Meja di 'lounge' hotel
Akar beringin di mana-mana
Hotel ini sebenarnya menarik. Semuanya ditata untuk memberikan kesan kuno. Bahkan lounge tempat kami disuguh welcome drink pun menggunakan meja kayu yang catnya sudah mengelupas dan kaki-kakinya tidak sama panjang (orang Jawa mengatakan 'oyag-ayig'). Hotel ini juga punya kamar kelas presidential suite (katanya pak SBY pernah menginap di sini) yang tarifnya hampir Rp 3 juta per malam. Saya sih tidak ingin tidur di situ, karena ranjangnya tinggi banget. Kalau ngelindur dan jatuh, pasti sakit sekali. Karena capek, malamnyapun kami tidur dengan pulasnya (di kamar kelas biasa tentunya), tidak peduli mungkin saja di dunia paralel di tempat yang sama ada keramaian pasar malam...
Hari Kedua, 26 Desember 2013. Pagi-pagi saya sudah mengeksplorasi rute ke Gunung Kelud. Rute yang umum adalah lewat Kediri, tapi rute terdekat bisa langsung ke Gunung Kelud via Penataran. Saya memilih opsi kedua.
Rute Blitar-Gn Kelud
Karena belum pernah menjalani rute ini, saya 100% mengandalkan Google Maps. Keluar dari kota Blitar, jalan masih nyaman, tetapi lama-lama menyempit dan bahkan masuk ke daerah pedesaan. Yang membuat saya agak tenang adalah ada beberapa mobil dengan plat selain AG (Kediri) yang mengikuti jalan yang sama. Catatan saya: beberapa kali Google Maps memberikan rekomendasi yang tidak pas. Mungkin memang rute yang dipilihnya adalah rute terpendek, tetapi kondisi jalannya tidak mendukung (lewat jalan desa).
Pada akhirnya kami bertemu dengan jalan Kediri-Kelud yang lebih lebar dan bagus. Selepas ini, perjalanan ke puncak Kelud dilalui dengan tenang. Mobil bisa sampai di puncak, dan dari tempat parkir sampai ke obyek wisatanya hanya berjarak kira-kira 200m.


Kubah lava Kelud, zoomed
Tidak salah kami mengunjungi puncak Kelud. Pemandangannya breathtaking. Kami bisa mendekat sampai kawah, di sana ada lava dome atau puncak lava yang terbentuk pasca letusan tahun 90an. Selain kawah, sebenarnya ada juga gardu pandang dan pemandian air panas, tetapi keduanya harus ditempuh dengan energi ekstra. Saya sebenarnya ingin mengeksplorasi ke kedua spot tersebut, tapi karena anak-anak tidak mau, akhirnya kamipun balik ke mobil.

Kubah lava Kelud, panoramic view



Menuju air panas
Kata beberapa orang, puncak Kelud paling baik dikunjungi saat awan turun cukup rendah. Di titik-titik tertentu pada jalan menuju puncak, posisi jalan diapit oleh lembah dan jurang di kiri kanannya. Jika lembah itu tertutup awan, mobil kita seakan-akan berada di atasnya. Sensasinya seperti berjalan di atas awan, begitu informasi yang saya terima. Tapi memang sulit memperkirakan kapan suasana seperti itu terjadi.
Setelah dari Kelud, kami menuju Malang. Destinasi berikutnya sudah ditentukan: Bromo, dan kami akan naik ke Bromo pada hari Jumat 27 Desember pagi-pagi.
Saya memilih rute Kelud-Pare-Batu-Malang. Saya sengaja memilih rute ini karena menyuguhkan pemandangan yang lebih menarik, tapi ternyata sesampai di Batu, kami terjebak macet. Seharusnya saya memperhitungkan hari itu adalah masa liburan, dan Batu adalah daerah tujuan wisata primer bagi masyarakat Jawa Timur. Oh ya, kami makan siang di Rumah Makan Sate Kelinci, sekitar 3-4 km ke arah timur Batu. Satenya empuk, disajikan secara hotplate. Bagi penggemar sate, menunya recommended sekali.
Kami sampai di Malang sekitar jam 4 sore, terus langsung ke hotel untuk beristirahat. Untuk perjalanan ke Bromo, saya tidak ingin menyetir mobil sendiri karena medannya cukup berat dan harus berangkat malam hari, sementara besok paginya masih harus menempuh perjalanan pulang ke Yogya. Saya mencari jasa tour saja, alhamdulillah masih ada mobil yang bisa disewa (saat itu adalah peak season dan banyak persewaan mobil yang fully booked).
Kami berangkat dari hotel hari Jumat dini hari jam 00.30. Perjalanan sampai base camp ditempuh selama hampir 2 jam. Dari tempat parkir di base camp, kami berganti kendaraan jeep hardtop, menuju Penanjakan 1 (puncak tertinggi untuk menonton matahari terbit). Setelah melewati jalanan sempit berliku selama kira-kira 1 jam, kami sampai ke puncak Gunung Penanjakan. Karena masih belum waktunya, kami duduk-duduk di warung sambil menikmati makanan dan minuman hangat. Pengunjungpun semakin banyak. Akhirnya sekitar jam 4 pagi kami menuju gardu pandang. Di sana sudah banyak orang, untungnya kami masih mendapatkan spot untuk duduk. Sementara itu pengunjung masih mengalir memenuhi area gardu pandang, membuat suasana menjadi sesak.
Sekitar jam 4.25 fajar mulai merekah. Orang-orang mulai berdiri, kamera mulai beraksi. Prosesi ini berlangsung kira-kira 30 menit sampai matahari benar-benar muncul. Sejujurnya, bagi saya sunrise kali itu bukanlah yang paling spektakuler karena cukup banyak awan yang menghalangi wujud sang surya.


Karena suasana semakin riuh dan sesak, kami menyingkir dari gardu pandang, dan malah menemukan spot yang bagus untuk memotret. Keluar dari gardu pandang, ada tebing yang cukup lebar untuk berdiri mengambil gambar. Dari spot itu terlihat Semeru, Bromo, Butak, dan lautan pasir membentuk suatu komposisi yang menawan. 
Semeru, Bromo, Butak, dan lautan pasir, panoramic view

Semeru, Bromo, Butak, dan lautan pasir, HDR processed

Kawah Bromo, zoomed dari puncak Penanjakan 1

Lautan pasir Bromo, panoramic view
Setelah dari puncak Penanjakan, kami kembali ke jeep dan melanjutkan perjalanan ke lautan pasir. Di sini baru terlihat betapa banyaknya pengunjung Bromo pada hari itu. Jejeran jeep lebih dari 100 mobil, diparkir di lautan pasir. Dari sini bisa berjalan kaki atau naik kuda menuju kawah Bromo, tapi kami tidak melakukannya.
Pura Hindu di Bromo



Menuju kawah Bromo, zoomed


Setelah puas berjalan-jalan dan menikmati udara pagi yang segar, kamipun kembali ke hotel di Malang. Setelah beristirahat sebentar di hotel, akhirnya sekitar jam 12 siang kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Saya tidak ingin lewat Batu atau rute mainstream (Lawang-Purwodadi-Mojokerto-Jombang, dan seterusnya). Satu-satunya pilihan adalah lewat rute selatan: Wlingi-Blitar-Trenggalek, dan seterusnya. Sesampai di Ponorogo saya dihadapkan pada dua pilihan: lewat Wonogiri atau terus ke Madiun lalu Magetan-Sarangan dan seterusnya. Karena saya suka rute Sarangan-Tawangmangu dan saya juga ragu-ragu dengan rute Ponorogo-Wonogiri, akhirnya saya kembali menggunakan rute Ponorogo-Madiun-Magetan-Tawangmangu-Solo dan seterusnya. Hari sudah malam saat kami melewati Sarangan dan Tawangmangu, cukup excited juga karena jalanan sepi, gelap, dan dingin (AC mobil saya matikan dan kaca saya buka sedikit). Di tempat-tempat tertentu bulu roma sempat berdiri juga karena tiba-tiba muncul bau yang menyengat, tapi setelah dicermati, ternyata itu bau belerang…hehehe
Akhirnya sekitar jam 23.30, kami tiba dengan selamat di rumah. Sungguh pengalaman perjalanan yang menyenangkan.


Perjalanan 3 hari, 921 km (menurut Google Maps)

Catatan akhir:
Biasanya kalau jalan-jalan seperti ini saya selalu membawa Canon D550 saya, tetapi kali ini yang saya bawa adalah Samsung Galaxy Camera. Kamera pocket, android-based, tapi punya fitur serius: screen 4.8 inch, 16 mega pixel, lensa 4.1-86.1mm, 21x zoom, banyak filter, dan aplikasi photo editing, dan dengan koneksi wifinya, saya bisa upload segera foto-foto yang saya ambil. Kalau untuk keperluan photo sharing biasa, kualitas gambarnya sudah sangat memadai, apalagi kita bisa mengedit foto-foto kita langsung di kamera tsb. Semua foto di tulisan ini diambil dengan kamera Samsung Galaxy dan beberapa photo mode (misal: panoramic dan HDR) dan photo editing juga dilakukan di kamera yang sama.

Monday, April 23, 2012

Ciwidey, 22 April 2012


Bermula dari sebuah post di web yang meuji-muji obyek wisata Kawah Putih, saya penasaran seperti apa sih indahnya obyek itu. Kebetulan saat itu mungkin rasa nekad saya sedang memuncak, dan kebetulan pula pada hari Sabtu 21 April 2012 yang lalu saya ada acara tapi bukan dalam rangka tugas kantor di Jakarta. Dengan cepat saya putuskan, hari Minggunya saya harus bisa melihat Kawah Putih. Lalu saya browse info tentang obyek ini, dan ternyata saya mendapatkan info yang menarik: lokasinya di sekitar Ciwidey, sekitar 46 km di selatan kota Bandung, dan di sekitar itu ada beberapa obyek wisata lain yang patut dikunjungi (setelah saya lihat sendiri, ternyata ada tujuh obyek).

Tibalah saat persiapan. Itinerary perjalanan pun disusun. Saya harus sampai Bandung hari Sabtu malam, menginap semalam, baru Minggu pagi berangkat ke Ciwidey. Tak lupa pula saya menyewa mobil untuk transportasi menuju lokasi. Sabtu sore menjelang memasuki Bandung, saya mengkonfirmasi pak sopir yang akan mengantar saya, dan saya sangat terkejut mendengar jawabannya. Dia bilang hari itu dia sakit, sehingga tidak bisa mengantar saya esok paginya. Saya agak panik dan malam itu saya mencoba mengontak beberapa teman yang ada di Bandung. Saya semakin panik karena menjelang jam 10 malam belum dapat mobil pengganti juga. Tapi ternyata Tuhan memang mengijinkan saya untuk tetap berwisata, akhirnya malam itu saya mendapatkan mobil atas bantuan seorang teman. Avanza dan sopirnya siap membawa saya ke Ciwidey…

Saya berangkat dari rumah saudara sekitar jam 7.30. Saya pikir, jarak 46 km paling lama ditempuh dalam waktu 60-75 menit. Ternyata saya salah besar. Selepas pintu keluar tol Purbaleunyi ke arah Kopo/Sorean, mulailah kemacetan melanda. Itu masih pagi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana macetnya saat siang. Di Kopo macet, di Soreang juga. Bahkan di ibukota Kabupaten Bandung ini macetnya agak lama, karena jalan rayanya digunakan masyarakat untuk berkegiatan Minggu pagi. Ada yang olah raga, ada yang jajan, ada yang jualan, dsb. Singkat kata, saya sampai di Kawah Putih setelah menempuh hampir 2,5 jam perjalanan.

Begitu masuk ke pintu masuk kompleks Kawah Putih, semua kejengkelan hilang. Suasana hijau asri plus udara segar seketika menghilangkan semua emosi. Maklum saja ketinggian lokasi ini hampir 2000 dpl. Dari pintu masuk ini sampai ke lokasi kawahnya masih sekitar 5 km lagi, dengan jalan sempit melingkari Gunung Patuha. Ada dua macam cara untuk naik ke lokasi kawah: naik mobil sendiri atau ikut angkutan umum. Kalau naik mobil sendiri, biayanya dipukul rata Rp 150 ribu (mobil + semua penumpangnya). Jika naik angkutan umum, biayanya Rp 15 ribu per orang. Saya hanya membayar Rp 30 ribu saja dan bisa pakai mobil sendiri. Rahasianya? Karena yang punya mobil terafiliasi dengan Dinas Kehutanan Prov. Jabar…hehehe…

Akhirnya mobil saya sampai di lokasi kawah. Di sana ada tempat parkir yang luas dan tertata rapi. Ada tulisan “Kawah Putih” besar di situ. Kawah Putih mendapatkan namanya dari kenyataan bahwa tepiannya berwarna putih. Bukan pasir, tapi sulfur. Bau sulfur memang terasa sekali, tapi saat saya datang, bau itu tidak terlalu menyengat. Kalau tidak tahan baunya, banyak penjual masker di area parkir itu. Kawahnya sendiri terletak sekitar 100m dari tempat parkir mobil. Sayapun segera turun dan berjalan menuju kawah.

Begitu melihat kawah, subhanallah…indah sekali. Hamparan air berwarna biru muda seolah dipangku oleh gunung karang yang kokoh, bertemu dengan batu-batu sulfur berwarna putih di tepiannya. Sesekali bertiup kabut di permukaannya, membuat suasana menjadi sedikit agak mistis. Saya yakin suasana mistis ini akan lebih terasa saat tidak banyak pengunjung, apalagi kalau kita mendekat ke kayu-kayu pohon yang mati menghitam karena tidak kuat menahan pengaruh sulfur. Suatu saat saya ingin kembali ke sini menjelang sore dan pada waktu tidak libur sehingga tidak banyak pengunjungnya. Saya rasa saat terbaik untuk mengunjungi Kawah Putih adalah saat tidak banyak hiruk pikuk dari pengunjung sehingga kawah itu bisa memperlihatkan nuansa kehampaan yang luar biasa. Bayangkan, di kawah itu sama sekali tidak ada gerak mahluk sebagai ciri kehidupan. Tidak ada hewan darat, air, maupun udara di sekitarnya. Jika tidak ada manusia di situ, maka yang ada hanyalah kediaman yang membeku…

Cukup lama saya berada di kawah, mungkin hampir 1,5 jam. Saya ingin benar-benar menikmati suasananya. Meski banyak wisatawan, tapi tetap saja saya bisa menikmati suasana tenang dan sejuk yang ditingkahi dengan unsur mistis…

Setelah puas memotret, saya kembali ke mobil. Saya bertanya ke mas Adang yang menyopiri mobil, obyek apa lagi yang bisa dilihat di sekitar itu. Dia mengusulkan ke Situ Patengan. Dalam perjalanan ke Situ Patengan, saya melewati kebun the yang luar biasa indahnya. Menurut saya pemandangannya lebih bagus daripada di Puncak atau Lembang.

Situ Patengan sendiri terletak sekitar 5 km dari Kawah Putih ke arah selatan. Lokasinya di antara kebun teh. Menjelang sampai ke lokasi, saat jalan agak menurun, ada satu spot yang breathtaking sekali. Dari situ terlihat danaunya di kejauhan dengan air berwarna kebiruan, dan di foreground ada hamparan tanaman teh yang menghijau. Luar biasa indahnya.

Di Situ Patengan sendiri lokasinya lebih ramai pengunjung, karena ada atraksi menyewa perahu mengelilingi danau. Saya sebenarnya ingin juga menyewa, tapi saat itu hujan mulai turun, sehingga viewnya kurang bagu untuk berburu foto. Akhirnya cukuplah berfoto-foto di pinggir danaunya saja. Karena hari sudah siang, saya tidak berlama-lama di Situ Patengan. Sekitar jam 12.30 saya pulang kembali ke Bandung.

O ya, di sepanjang jalan antara Ciwidey dan Kawah Putih ada banyak kebun strawberry yang menawarkan sistem petik sendiri. Saya ingin membeli strawberry, tapi tidak mau memetiknya. Terlalu lama, dan saya tidak tertarik…Untungnya saat saya mampir ke salah satu kebun, pas saat itu penjualnya bilang dia baru saja menerima kiriman satu boks besar strawberry yang masih fresh dari kebun. Langsung saja saya borong, harganya Rp 30 ribu per kilo. Saya tidak tahu apakah harga segitu itu murah atau mahal, pokoknya saya beli saja 2 kilo. Menurut saya sih tidak mahal, karena strawberrynya besar-besar dan manis. Kalaupun mahal, saya tetap tidak merasa rugi…hehehe…

Setelah beli strawberry, saya melanjutkan perjalanan pulang. Sebelum pulang, saya sempatkan juga mampir di Kartika Sari cabang Kopo. Seperti biasanya saya cari roti kesenangan anak-anak. Akhirnya jam 4 saya sampai di Bandung kembali, dan jam 7 malam melanjutkan perjalanan pulang ke Yogya.

Kesimpulan: Ciwidey sangat recommended untuk dikunjungi jika anda suka akan wisata alam. Kalau berkunjung ke sana sebaiknya menginap karena ada beberapa obyek lain yang juga menarik. Ada pemandian air panas, ada tempat penangkaran rusa, dan sebagainya. Di sekitar Ciwidey ada beberapa penginapan yang cukup baik. Saya rasa info tentang penginapan bisa dicari di Google.

Foto-foto perjalanan saya ke Kawah Putih dan Situ Patengan bisa dilihat di: http://goo.gl/JDOUI



Saturday, April 07, 2012






Di antara Sumbing dan Sindoro

Pada libur panjang kali ini saya ingin melakukan hobi yang sudah agak lama tidak tersalurkan: jalan-jalan sambil memotret. Tadinya ingin ke lokasi yang agak jauh dan mengeksplorasinya dalam waktu yang agak lama, tapi karena ada anak yang tidak libur hari Sabtunya, rencana itu urung dijalankan. Saat memilih lokasi pengganti, saya teringat suatu tempat di antara Wonosobo dan Parakan. Kledung adalah daerah dengan elevasi tertinggi di antara kedua kota tersebut. Kledung terletak di antara dua gunung: Sindoro dan Sumbing. Saya pernah lewat daerah tersebut saat matahari baru saja terbit, tepatnya pada strip jalan lurus dari arah Wonosobo sebelum masuk ke Kledung. Di sisi kanan ada Sumbing, dan di sisi kiri ada Sindoro. Sinar matahari yang menyembul membuat punggun Sumbing dan Sindoro memerah. Dihiasi oleh kabut tipis yang tersisa, sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah …

Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke Kledung. Saat mencari hotel via Internet, kebanyakan informasi menunjukkan hotel di Wonosobo. Tidak…saya tidak ingin menginap di Wonosobo. Saya ingin menginap di Kledung. Tiba-tiba saya teringat juga, saat lewat daerah itu, ada penginapan yang sepertinya cukup bagus. Saya lupa namanya, tapi akhirnya ketemu juga: Kledung Pass Hotel. Setelah berburu di Internet lagi, ketemulah nomor teleponnya. Reservasipun dibuat, tapi sebetulnya tidak perlu karena mbak petugasnya bilang masih banyak kamar yang kosong.

Akhirnya saya dan istri berangkat hari Kamis sore jam 15.30. Kledung terletak sekitar 17km setelah kota Parakan dari arah Yogya. Perjalanan dari Yogya ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam. Perjalanan lancar, dan kami makan malam di RM Ani, dekat kota Parakan. Sampai di penginapan sekitar jam 19. Lokasi hotel di sebelah kanan (utara) jalan, pada jalan lurus setelah tanjakan Kledung yang berkelok-kelok. Kami agak terkejut karena tidak mengira hotelnya cukup bagus dan bersih. Sangat menarik mengingat biayanya hanya Rp 275 ribu per malam, sudah termasuk makan pagi untuk 2 orang.

Uniknya hotel ini adalah ada dua pilihan kamar: view menghadap gunung Sumbing atau menghadap gunung Sindoro. Setelah saya bandingkan, view ke Sumbing lebih bagus. Kamarnya sendiri tidak terlalu besar, tapi bersih. Ada teras kecil di luar kamar, sangat nyaman untuk memandangi Sumbing yang seolah-olah ada di hadapan kita persis. Oh..jangan berharap ada AC di hotel sekitar Kledung.. :D

Pagi harinya saya sudah siap setelah subuh. Ternyata masih gelap. Langit mulai memerah sekitar jam 5.45. Sosok Sumbing dan Sindoro mulai terlihat. Saya mulai mengeksplorasi daerah di sekitar hotel, dan mengambil beberapa foto (bisa dilihat di Album Foto di Google+ saya di http://goo.gl/5KWp3).

Hawa yang segar dan pemandangan yang indah sungguh membuat orang bisa berlama-lama di daerah ini. Sayangnya tidak ada obyek wisata atau kegiatan wisata lain yang tersedia. Padahal mungkin trekking ke kaki Sumbing atau Sindoro bisa dilakukan, mengingat jarak ke kedua gunung tersebut relatif dekat. Di sekitar hotel hanya ada kebun sayur, yang saat ini masih dalam tahap pengolahan tanah sehingga tidak menarik untuk dilihat-lihat.

Setelah puas memotret, kami sarapan di rumah makan yang ada di depan hotel. Sarapan yang diperoleh bisa dipilih: nasi goreng, rames, atau rawon (tidak ada menu continental di sini), tapi di rumah makan itu juga ada banyak lauk tambahan kalau kurang puas dengan menu basic tersebut.

Sebenarnya saya ingin tinggal di situ sampai menjelang sunset karena ingin merasakan view yang berbeda, tapi sayangnya tidak bisa dilaksanakan. Saya ingin merasakan suasana misty, sore temaram dan berkabut. Pasti menarik untuk difoto, tapi mungkin untung-untungan tergantung waktunya juga.

Anyway, saya puas dengan trip semalam ke Kledung ini. Suasana tenang, pemandangan indah, dan udara segar plus beberapa foto cukup untuk recharge energi dan memulihkan suasana hati. Saran saya, kalau mau pergi ke sini, usahakan untuk sampai di Kledung sebelum jam 17 agar bisa menikmati suasana menjelang matahari tenggelam.

Sunday, September 04, 2011

Tips untuk Mudik yang Menyenangkan

Tanpa terasa sudah 7 tahun ini saya melakukan ritual tahunan mudik dengan kendaraan (mobil) sendiri. Pertimbangan utamanya sih karena masalah biaya: keluarga saya cukup besar, sehingga kalau harus naik pesawat, perlu biaya besar pula. Lagipula rasanya akan lebih fun jika perjalanan mudik ini dinikmati bareng-bareng dengan fleksibel, tidak tergantung jadwal orang lain. Apalagi mobil saya, Honda Stream 2000cc, termasuk cukup handaldan nyaman untuk traveling jarak jauh. Jadilah mudik dengan mobil menjadi acara rutin tahunan kami, dan setelah menjalaninya selama 7 tahun, rasanya ada beberapa hal yang bisa dibagi khususnya bagi para "mudikers" bermobil lainnya.

Mudik sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi. Secara fisik, ia adalah mobilitas orang. Secara mental, ada unsur transendental di sana. Menengok orang tua dan bersilaturahmi dengan saudara mengandung nilai-nilai moral dan tradisi yang tinggi, yang tidak selalu dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang berada di luar tradisi tersebut. Dalam event Lebaran, kedua sisi itu bertemu. Dengan demikian menjadi masuk akallah jika jutaan orang rela bersusah payah menempuh kemacetan dan berbagai kesulitan lainnya untuk memenuhi kewajiban tradisinya itu.

Tentu saja dengan berjalannya waktu, terjadi pula pergeseran-pergeseran dalam hal mudik, baik secara nilai maupun secara fisis. Saya bahas sisi fisisnya saja. Yang pertama, terjadi pergeseran pola waktu mudik. Jaman dulu, yg ada dalam pikiran saya adalah bahwa mudik itu dilakukan oleh orang-orang kota (besar) sebelum lebaran. Artinya, setelah hari raya, arus outbound dari Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya akan minimal. Hal ini ternyata tidak lagi berlaku saat ini. Saya amati bahkan setelah hari-H, arus keluar dari Jakarta masih tinggi.

Di sisi lain, cukup banyak pula orang yang tidak berlama-lama mudik. Artinya sejak hari H+1, trafik arus balik sudah mulai terlihat, meski masih sedikit.

Perubahan pola waktu mudik (dan balik) ini berimbas pada kondisi trafik di sepanjang jalur mudik tentunya. Jika sebelum hari-H jalur-jalur jalan didominasi oleh jalur mudik, pada hari-hari setelah lebaran, trafiknya bercampur. Ada arus mudik, ada arus balik, dan ada trafik lokal. Yang terakhir ini adalah para pemakai jalan yang bepergian jarak dekat saja. Kondisi inilah yang perlu diwaspadai, karena efeknya bisa di luar dugaan.

Pada kondisi beban puncak, jarak tempuh bukanlah menjadi fungsi waktu. Jogja - Semarang yang cuma 120 km dan normalnya ditempuh dalam waktu 3 jam, saat macet-macetnya bisa memerlukan waktu 8 jam atau lebih. Ada saudara saya dari Surabaya mau ke Jogja, dia harus berada di jalan selama lebih dari 17 jam. Tahun 2010, saya perlu waktu 3 hari 2 malam untuk menempuh perjalanan Jogja - Lampung.

Sungguh absurd rasanya, tapi inilah realitas mudik. Meskipun secara mental kebanyakan orang sudah siap menghadapi kenyataan ini, ada baiknya kita juga melakukan beberapa persiapan agar perjalanan kita, meskipun tersendat, masih bisa dinikmati dengan baik.

Yang pertama adalah identifikasi lokasi-lokasi rawan macet. Memang tidak bisa diprediksi, tetapi pengetahuan tentang lokasi-lokasi ini bisa menambah kesiapan kita. Secara umum, tempat-tempat rawan macet dicirikan oleh satu atau lebih penyebab sbb: adanya tempat keramaian (mis: pasar), medan jalan yang sulit (naik turun/berkelok-kelok), jalan yang sempit, dan adanya perlintasan kereta api. Beberapa lokasi rawan macet yang pernah saya temui antara lain: sekitar Indramayu (pasar), sepanjang Tasikmalaya-Nagreg (jalan naik turun/berliku), Bumiayu-Prupuk (perlintasan KA/jalan tidak lebar), dan Kebumen-Gombong (perlintasan KA). Untuk diketahui saja, dalam masa lebaran, untuk jalur KA yang sibuk, frekuensi KA lewat rata-rata adalah tiap 17 menit.

Untuk meminimalkan kemacetan, ada beberapa tips yang bisa dijalankan. Yang pertama, gunakan jalur alternatif (jika ada). Beranilah untuk bereksplorasi. Jalur alternatif biasanya kondisinya tidak sebagus jalur utama, tapi dalam situasi macet, hal ini tentu saja bisa diabaikan. Untuk membantu mencari jalur alternatif, alat navigasi berbasis GPS akan sangat membantu. Yang kedua, rencanakan waktu perjalanan. Minimalkan faktor-faktor pencetus kemacetan. Yang bisa diminimalkan adalah trafik lokal. Para local travellers ini aktif pada siang sampai sore hari, jadi pilihlah waktu yg tepat utk melakukan perjalanan. Sebagai contoh, saat berangkat dari Jogja kemarin, saya start jam 7 pagi dan lewat jalur selatan-selatan. Hanya dalam waktu 3,5 jam saya sudah sampai Gombong. Not bad dalam kondisi lebaran :)

Persiapan penting lain sebelum melakukan perjalanan mudik adalah mobil kita. Kehandalan itu mutlak harus, tapi selain itu, mobil harus bisa memberikan kenyamanan secukupnya. Saya pernah melihat sebuah Suzuki Carry diisi sampai 9 orang plus berbagai bawaan. Menurut saya, itu menyiksa baik mobil maupun penumpangnya. Berilah ruang yang cukup untuk tiap penumpang, agar mereka bisa istirahat dengan cukup nyaman. Lengkapi pula mobil dengan hiburan, misalnya musik atau film (khususnya jika membawa anak-anak). Mobil saya tidak ada alat pemutar videonya (sebenarnya ada, tp tidak berfungsi dng baik), tapi dengan Galaxy Tab yang dipasang di dashboard untuk memutar film, anak-anak bisa cukup terhibur. Oh ya, jangan lupakan pula logistik. Bawalah makanan dan minuman secukupnya agar tidak bingung saat dibutuhkan.

Dengan alasan yang sama, janganlah mengambil resiko dengan ketersediaan bahan bakar. Jangan menunggu mengisi bensin sampai indikator bahan bakar berkedip-kedip. Kalau pas perlu mengisi bensin pas terjebak macet akibatnya bisa fatal. Lagipula saat terjadi kemacetan, besar kemungkinan pompa-pompa bensin juga kehabisan stok, karena pengirimannya terhambat macet.

Dan yang paling penting pada akhirnya memang pengendalian diri. Saat terjebak kemacetan, biasanya emosi jadi naik. Tidak ada gunanya emosi, sebaiknya dibuat santai saja. Tidak usah menggerutu karena semua orang juga mengalami hal yang sama. Kalau pas macet panjang, matikanlah mesin lalu lakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa kita lakukan, misalnya duduk-duduk di tengah jalan. Kalau bawa gitar, mainkanlah…It's fun…

Meskipun tidak macet, emosi dan sikap tidak menangnya sendiri juga tetap harus dijaga. Sepertinya ini yang susah, karena kemacetan itu juga sedikit banyak disebabkan karena ulah para pengemudi yang tidak sabar dan tidak mau memperhatikan pengendara lainnya.

Akhirnya, selamat menjalani mudik. Semoga perjalanannya lancar (meskipun macet) dan menyenangkan...

Thursday, September 16, 2010

Perjalanan Mudik: Sebuah Rekor

Seperti tahun-tahun kemarin, saya sekeluarga merencanakan mudik ke Lampung pada sehari setelah Lebaran (H+1). Biasanya kami berangkat pagi-pagi, lalu menginap di sekitar Jakarta sebelum meneruskan perjalanan ke Lampung esok harinya. Normalnya perjalanan Yogya-Lampung ditempuh dalam waktu 2 hari 1 malam.

Sehari sebelum lebaran (hari Kamis), tiba-tiba 3 anak laki-laki saya sakit. Gejalanya seragam: badan panas, batuk, dan meriang. Tentu saja kami tidak bisa membawa anak-anak yg sedang sakit untuk mudik, sehingga terpaksa mudiknya ditunda sampai mereka sembuh. Untunglah penyakitnya tidak serius, jadi 3 hari kemudian mereka sudah mulai sehat kembali.

Akhirnya hari Senin pagi tgl 13 September berangkatlah kami ke Lampung. Berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 karena banyak hal yg harus dipersiapkan. Saya sadar bahwa hari itu diramalkan puncak arus balik khusus PNS (dan mungkin juga karyawan swasta) karena tgl. 14 September mereka sudah harus masuk kantor kembali.

Awalnya perjalanan berasa lancar-lancar saja, tetapi sampai selepas Purworejo, gejala tidak baik mulai terasa. Kemacetan mulai muncul, sehingga Yogya-Kebumen ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam! Kemacetan semakin menjadi di Karanganyar dan selepasnya, sehingga setelah maghrib kami baru lepas dari Wangon (Banyumas). Tadinya saya mau belok ke kanan ke arah Ajibarang utk kemudian lewat jalur utara, tapi pak polisi di perempatan Wangon bilang kalau di Bumiayu macet total, sehingga kami diarahkan lewat jalur selatan. Saya menurut saja, dan akhirnya saya terus saja melewati Majenang dan Banjar. Sekitar jam 9, kami semua sudah capai, dan akhirnya saya memutuskan menginap di Ciamis. Kebetulan ada hotel di pinggir jalan besar, tapi ternyata itu pilihan yg buruk karena saya malah tidak bisa tidur karena suara mobil & motor sepanjang malam membuat saya tidak bisa istirahat dengan baik.

Hari kedua: perjalanan menguji kesabaran.

Kami berangkat dari hotel di Ciamis sekitar jam 9 pagi. Awalnya lancar, tapi begitu masuk daerah Rajapolah (Tasikmalaya), kemacetan mulai terasa. Kemacetan semakin menjadi menjelang masuk Ciawi. Di sini benar-benar berhenti. Kalau diajak balapan sama kura-kura saja, pasti menang kura-kuranya... Walhasil jarak sekitar 35km ditempuh dalam waktu 6 jam. Akhirnya sekitar jam 3 saya memutuskan untuk istirahat di pompa bensin, sekalian mengisi bensin yg sudah kritis. Problemnya ternyata belum selesai: stok premium di semua pompa bensin habis! Akhirnya tetap saja saya masuk ke sebuah pompa bensin yg agak besar, mobil diparkir di situ, dan penumpangnya bergeletakan sambil mencari makan siang... Untungnya 1 jam kemudian stok premiumnya datang, dan 30 menit setelah itu kami berangkat lagi.

Untungnya setelah itu perjalanan lancar. Nagrek dapat saya lewati dengan lancar, melalui jalan baru yg belum lama dibuka. Tapi saat itu kami semua sudah capek fisik dan emosinya. Dari Nagrek saya menyetir mobil tanpa soul. Tangan dan kaki saya seolah bekerja sendiri, tanpa diperintah oleh otak saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di Cikarang, sekitar jam 10 malam, karena semua sudah teler. Menginaplah kami di Hotel Grand Cikarang.

Hari ketiga: mudik dengan lancar

Dari hotel kami berangkat kira-kira jam 9.30. Tujuan: ke Depok, mengantar anak mbarep yang sudah akan masuk sekolah lagi (F. Psikologi UI ternyata lebih rajin daripada JTETI UGM yg baru memulai kuliah tgl 20 Sept). Saya tidak paham jalan-jalan di Jakarta, tapi alhamdulillah ada si Mio yang terpasang di depan saya. Navigator GPS inilah yang membantu saya menunjukkan rute ke Depok (meskipun harus saya setel-setel dulu, karena rute default yg dia sarankan melewati jalan-jalan kecil yang saya blum pernah dengar sebelumnya).

Saat di Depok, hujan turun dengan deras. Saya mulai khawatir kalau macet akibat jalanan banjir. Untungnya daerah Depok, Margonda, dan JORR bukanlah daerah banjir, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan dengan aman.

Akhirnya jam 16.30 saya sampai di Merak. Pelabuhan ferry tidak begitu ramai, dan perjalanan menyeberang ke Bakauheni juga cepat. Hanya dalam waktu 2 jam kapal sudah docking di dermaga Bakauheni, dan saya keluar dari kapal kira-kira menjelang pukul 19.00. Dari Bakauheni ke Bandarlampung, yang ramai adalah arus baliknya. Sepertinya pemudik lebih suka menyeberang saat malam hari karena tidak panas.

Begitu menapak di bumi Lampung, saya benar-benar ingin segera sampai ke rumah ibu mertua. Pikiran cuma satu: ingin tidur sepuasnya. Stream saya pacu dengan cepat. Yang tadinya keluar kapal urutan ke sekian, sampai di Tarahan sudah jadi yang terdepan...Akhirnya sekitar jam 20.45 tibalah saya di tujuan dengan selamat. Dan sebelum tidur, istri saya mengaku kalau tadi dia sebenarnya agak takut karena saya ngebut sekali... :)

Inilah perjalanan mudik terpanjang saya: Yogya-Lampung dalam 3 hari 2 malam...