Sunday, April 12, 2009











Pacitan, 10-11 April 2009

Dipicu oleh sebuah posting di Plurk ttg beberapa pantai dan goa yg indah, saya langsung punya keinginan untuk bertualang ke sana. Waktupun tiba saat liburan paskah kemarin. Malam sebelumnya saya browsing informasi tentang medan yang akan dihadapi, termasuk rute perjalanannya. Maklumlah, saya belum pernah ke Pacitan dan saya ingin menempuh rute terpendek, melewati Wonosari, sementara saya belum pernah traveling lebih jauh dari Wonosari. Akhirnya saya mendapatkan beberapa petunjuk tentang rute dan peta yang kira-kira bermanfaat nantinya, meskipun saya tetap tidak bisa membayangkan trip yang akan saya jalani.

Nixon Glenn menuliskan perjalanannya menjelajah pantai dan goa di Pacitan di blog Wordpressnya. Tracking GPS untuk rute perjalanan dari Wonosari ke Pacitan bisa dilihat di sini.

Berdua dengan istri, kamipun berangkat pagi-pagi langsung menuju Pacitan. Jalan beraspal hotmix mulus kami lalui sampai keluar Semanu. Memasuki Provinsi Jawa Tengah, mulailah jalan menyempit dan agak bergelombang menyambut kami. Medan juga mulai naik turun berkelok menyusuri pinggang bukit-bukit yang bertebaran sepanjang Pulau Jawa bagian selatan. Untungnya jalur ini cukup sepi, sehingga perjalananpun cukup lancar. Di perempatan kota kecamatan Giritontro, ada petunjuk jalan ke arah pantai Nampu. Saya pernah mendengar pantai yang katanya cukup bagus ini, jadi saya catat saja di dalam hati. Besok pulangnya saya ingin mampir ke pantai ini.

Tidak lama setelah masuk ke Provinsi Jawa Timur, jalan tiba-tiba melebar kembali dan mulus. Tidak lama setelah itu, saya melihat ada petunjuk kecil: pantai Klayar belok ke kanan. Segera saya ikuti jalan kecil namun kelihatannya cukup bagus tsb. So far so good...begitu pikir saya, tetapi pikiran itu segera saja pecah berantakan setelah beberapa km kemudian jalan berubah menjadi jelek. Aspal mengelupas, bahkan di beberapa bagian, sudah tinggal bebatuan saja. Sebenarnya saya merasa sayang juga dengan mobil Stream yang biasanya hanya menyentuh aspal mulus, tetapi sudah kepalang tanggung... Jarak belasan km rasanya forever...

Pantai Klayar

Perasaan jengkel dengan kondisi jalan yg begitu parah seketika terhapus saat melihat pantai Klayar dari kejauhan. View dari atas sungguh menakjubkan, tidak mengherankan jika view ini menjadi salah satu icon pantai Klayar. Deretan pohon kelapa menjadi latar depan dari pantai pasir putih yang diapit oleh karang-karang kokoh... Kami sampai sekitar jam 11, waktu yang tepat karena laut sudah agak surut dan langit cukup cerah.

Daya tarik pantai Klayar adalah formasi karang yang membentuk bangun serupa sphinx di Mesir. Berada di sebelah kiri pantai, formasi batuan ini bisa dipanjat saat laut sedang tidak pasang. Di atas batu sphinx ini permukaannya datar dan halus, tidak seperti karang pada umumnya yang kasar dan tajam. Tapi berhati-hatilah, karena di bawah batu ini ombak dapat sewaktu-waktu menghantam dan airnya bisa naik ke atas. Di karang ini juga ada semburan air yang melalui celah-celah batuan, membentuk semacam geyser. Rasanya segar terkena semburan butir-butir air, meskipun asin rasanya...

Warna air di pantai Klayar juga menarik. Batas antara warna hijau dan biru terlihat jelas, sehingga komposisi warna air laut dan pasir (biru, hijau, putih) menjadi sangat bagus untuk diabadikan. Apalagi jika diambil saat ombak bergelora menghantam batu karang...

Pantai Klayar sangat sepi. Pengunjung yang ada saat kami datang cuma beberapa orang saja, dan mereka cuma duduk-duduk di warung-warung. Mungkin pengunjung malas datang ke sana karena akses jalan yang kurang baik. Tapi dengan tidak banyaknya pengunjung, pantainya jadi bersih, tidak ada kotoran sama sekali.

Akhirnya setelah puas menikmati kelapa muda, kamipun meninggalkan pantai Klayar. Tujuan berikutnya: goa Gong. Kata penjual kelapa muda, goa Gong tidak jauh dari pantai Klayar, jadi kamipun setuju untuk mengunjunginya terlebih dahulu.

Goa Gong

Pacitan menggambarkan dirinya sebagai "kota 1001 goa". Goa Gong adalah salah satunya. Goa ini terletak di desa Bomo, kec. Punung. Beda dengan pantai Klayar, goa Gong lebih mudah diakses dan sudah tertata rapi, sudah tersentuh oleh pengelola pariwisata. Dari tempat parkir ke pintu goa, kami harus berjalan sekitar 150m. Di pintu goa kami disambut oleh banyak ibu-ibu yg menawarkan senter, maklum di dalam goa penerangannya tidak mencukupi.

Setelah menyewa 1 senter, masuklah kami. Pertama masuk, sepertinya goanya sempit, tapi semakin ke dalam semakin luas. Di tempat-tempat tertentu dipasang lampu penerangan dan fan, karena memang hawanya panas sekali. Lantai guanya licin karena basah, untungnya ada tempat berpegangan tangan sepanjang rute menyusuri gua.

Panjang rute di dalam gua sekitar 200m, dan di sepanjang jalan tsb. kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Berbagai bentuk stalagtit dan stalagmit terpajang di sekitar kami, menjadi bukti nyata karya bumi selama berjuta-juta tahun. Di ujung terdalam, ruang goa membesar, seperti halnya hall theater. Jika saja tata cahayanya diatur dengan baik, kesan kebesaran (grandeur) dari goa ini akan dapat lebih diekspos.

Oya, kenapa goa ini dinamai goa Gong? Karena beberapa stalagtit jika dipukul akan mengeluarkan suara seperti suara gong...

Kami tidak berlama-lama di goa Gong. Tujuan berikutnya: pantai Watukarung. Perjalanan menuju pantai Watukarung kurang lancar karena kami harus berkali-kali bertanya tentang rute jalannya. Hampir tidak ada petunjuk jalan ke obyek-obyek wisata ini... Pemkab Pacitan seharusnya memikirkan masalah-masalah kecil tapi vital spt ini. Bagaimana turis mau datang ke obyek-obyek yang indah-indah ini, kalau informasinya kurang dan petunjuk menuju lokasipun tidak ada. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang tidak mendukung.

Sedikit catatan untuk para pengunjung ke pantai-pantai di Pacitan. Semua jalan menuju pantai harus menembus pegunungan, sehingga jalannya berkelok-kelok, naik turun. Lebar jalan tidak lebih dari 3-4m, sehingga diperlukan keahlian khusus dalam mengemudikan kendaraan, terutama jika berpapasan dengan kendaraan lain. Tidak disarankan membawa kendaraan ber-cc kecil atau sedan dengan clearance yang rendah, atau mobil berbadan lebar seperti Kijang Innova atau Hyundai Trajet.

Pantai Watukarung

Pantai Watukarung memiliki beberapa jalan akses. Saat memasuki desa Watukarung, ada pantai yang ada tempat pelelangan ikan (TPI), tapi pantai ini kurang menarik. Kami terus menyusuri rumah-rumah penduduk, dan mengamati ada jalan-jalan kecil yg dibangun menuju ke pantai. Kami memilih salah satu jalan kecil, dan pantai yang indah terdapat di belakang rumah-rumah tersebut.

Sama seperti pantai Klayar, pantai ini juga sepi. Cirinya adalah batu-batu karang yang bertebaran. Karang-karang ini lebih terekspos saat kami ke sana, karena laut sedang surut. Pantainya agak aneh menurut saya. Di bibir pantai tergelar pasir putih yang lembut, tetapi strip pasir putih yang lebarnya sekitar 10 meter ini segera berganti dengan koral dan karang yang keras. Saat laut pasang, koral dan karang ini tidak akan terlihat, dan sangat berbahaya untuk bermain-main di sana, karena jika terjatuh, jelas akan terluka.

Saat kami berjalan-jalan di pantai, banyak penduduk sedang mencari udang kecil. Mereka menangkap udang-udang yg bersembunyi di balik koral dengan menggunakan capit dari bambu. Gerakan para pencari udang ini begitu gesit dalam menggerakkan capitnya, mengingatkan saya pada film-film kungfu yang dulu sering saya tonton..

Sayangnya view di pantai Watukarung agak kurang cerah karena siangnya sempat turun hujan. Langitnya tidak biru lepas karena banyak awan menggantung. Akhirnya kamipun meninggalkan Watukarung, menuju pantai di dekatnya: Srau.

Pantai Srau

Pantai Srau adalah pantai yang datar dan lebar, berpasir putih. Topologinya mirip dengan pantai Klayar, hanya saja karang-karangnya lebih monoton bentuknya. Morfologinya seperti pantai Watukarung, selepas pasir putih langsung disambut konfigurasi koral dan karang.

Yang menarik di Srau adalah barisan pohon kelapa yg membuat pantai ini agak "hijau", meskipun tidak cukup teduh untuk dijadikan perlindungan dari panas yg cukup menyengat.

Kami tidak terlalu lama di Srau, karena kelihatannya istri saya sudah cape. Apalagi saat itu sudah jam 13 lebih, dan belum makan siang juga. Sayangnya lagi, di Srau (dan di tiap pantai lain yg kami kunjungi), tidak ada warung yg cukup representatif. Jadi buat anda yg ingin berkunjung, siap-siaplah dengan bekal makanan yang cukup. Kalau minuman sih cukup banyak tersedia di warung-warung kecil yang ada.

Kami akhirnya memutuskan untuk menuju ke kota Pacitan untuk cari penginapan. Di perjalanan, kami mampir di warung yg jual makanan ikan laut. Sayangnya banyak menu yg sudah habis, jadi akhirnya kami makan ikan tengiri goreng dan bbrp sayur. Yang bikin kami terkejut adalah semua itu (termasuk minum) untuk kami berdua hanya dihargai Rp 20 ribu saja... jelas yg seperti ini tidak bisa kami jumpai di Yogya :-)

Pantai Teleng Ria

Kira-kira 4 km menjelang kota Pacitan, ada petunjuk jalan ke pantai Teleng Ria. Ini adalah obyek wisata terdekat dari kota. Meskipun badan sudah lelah, kami coba masuk juga ke lokasi ini. Bayarnya mahal, Rp 12 ribu, dan kami menyesal krn di dalam tidak ada apa-apanya. Sepertinya mau dibangun kompleks taman ria, tetapi pembangunannya terbengkelalai dan tidak jelas, akhirnya cuma ada beberapa bangunan kosong dan tidak terawat serta pantai yang datar dan kering.

Kalau dilihat via Google Maps, sebenarnya pantai ini punya potensi besar untuk dikembangkan: bibir pantai yg lebar dan pantai yg panjang (mungkin sekitar 2-3km), dan berbentuk teluk (sehingga ombak laut selatan yg terkenal besar sedikit banyak bisa teredam). Tinggal bagaimana Pemkab Pacitan bisa mengoptimalkannya...

Setelah berkeliling di pantai Teleng Ria, kamipun masuk ke kota untuk cari penginapan. Berhubung belum tahu kondisinya spt apa, maka kami memutuskan utk melihat-lihat dulu. Penginapan pertama yg kami lihat, Hotel Pacitan, sepertinya milik pemerintah. Sayangnya waktu kami cari kamar ber-AC, katanya semuanya sudah terisi. Wah, hebat juga... :-) Akhirnya kami menemukan hotel lain, Bali Asri, yg lokasinya juga di kota. Kamar VIP ber-AC harganya Rp 210 ribu, plus nyamuk dan berdebu krn kelihatannya jarang ditempati... :-D Anyway, kami sudah siap menghadapi keadaan spt ini, jadi dibuat nyaman saja.

Malamnya kami cari makan di alun-alun, kebetulan ada kupat tahu dan cemue (ternyata setelah kami tanyakan, artinya wedang sekoteng...). Nyaman juga makan di alun-alun yang tidak terlalu ramai, beda sekali dengan Malioboro...

Cukup untuk hari ini, besok perjalanan akan dilanjutkan kembali...

Pantai Wawaran

Esok paginya kami checkout pagi, menuju ke pantai Wawaran. Setelah (kembali) bertanya-tanya tentang rute, kamipun berangkat. Sebelum berangkat sempat dikasih warning kalau jalan ke Wawaran jelek karena sedang diperbaiki. Saya agak underestimate peringatan itu, karena dari kemarinpun sudah menikmatinya. Tetapi kali ini memang betul-betul parah...

Yang jelek justru jalan selepas kota Pacitan menuju kecamatan Kebonagung. Jalannya rusak total karena di situ sedang dikerjakan proyek pembangunan jalan besar-besaran. Sepertinya ini jalan raya besar lintas selatan P. Jawa, karena lebar jalannya saja lebih dari 10 m. Praktis jalan aslinya sudah tidak kelihatan lagi, digantikan oleh jalan tanah dan bebatuan, dan kondisi ini berlangsung sepanjang kira-kira 7-8 km. Sungguh kasihan Stream saya...

Akhirnya penderitaan itu berakhir saat kami masuk ke jalan kecil ke pantai Wawaran. Jalannya kecil banget, mungkin sekitar 3 m lebarnya. Saya tidak bisa membayangkan jika bertemu dengan mobil lain pas di lokasi yang tidak memungkinkan. Tepi kanan tebing bukit, tepi kiri kebanyakan jurang... Tanjakan dan kelokannya juga jauh lebih menantang daripada jalan ke lokasi pantai-pantai lainnya. Jika tidak terampil mengemudi atau tidak punya nyali kuat, janganlah mengemudikan sendiri kendaraannya.

Sekitar jam 8.30, sampailah kami di pantai Wawaran. Pantainya mirip dengan pantai Ngrenehan di Gunung Kidul, berupa teluk yang diapit oleh karang di mulut teluknya. Saat kami datang, para nelayan sedang kembali dari melaut, jadi suasana pantai cukup ramai. Kami melihat bagaimana mereka saling bergotong-royong mengangkat perahu dari laut untuk diparkir di bagian atas pantai. Sungguh kehidupan desa yang sangat menyentuh...

Dari Wawaran, kami langsung ambil arah pulang ke Yogya. Rencana saya, sampai di Giritontro belok ke kiri, ke pantai Nampu. Tapi sesaat setelah belok kiri menuju Nampu, tiba-tiba mesin Stream tersendat-sendat. Saya lihat indikator bensin, masih menunjukkan 1/4. Tapi saya pernah mengalami kondisi yang sama saat perjalanan di Jawa Barat, ternyata itu gejala kehabisan bensin. Jadi indikator bensinpun bisa menipu...

Tanpa berani ambil resiko, saya putar balik, langsung membatalkan keinginan ke pantai Nampu. Segera mencari pompa bensin, ternyata yg terdekat masih 7 km dari situ. Alhamdulillah bisa sampai di pompa bensin, dan setelah diisi, benarlah kiranya...mesin jadi lancar kembali.

Alhamdulillah sekitar jam 13 kami sampai di rumah dengan selamat, dengan membawa kesan yang mendalam tentang keindahan obyek-obyek pantai di Pacitan. Saya masih hutang satu pantai di Nampu, dan katanya di Gunung kidulpun masih banyak pantai indah yg belum pernah saya kunjungi. Next time kalau ada liburan lagi...

Foto-foto bisa dilihat di web album saya.