Sunday, May 10, 2009
















Bintan, 8-9 Mei 2009

Saya mendengar tentang pulau Bintan sudah sejak SD dulu. Bintan dikenal sebagai penghasil bauksit, bahan pembuat aluminium. Ternyata Bintan tidak saja dikenal sebagai pulau bauksit. Melalui Internet, saya membaca potensi pariwisata yang cukup besar di Bintan, terutama pantainya. Berbekal pengetahuan awal inilah kemudian saya berketetapan untuk mengunjunginya setelah selesai menjalankan tugas kantor di Batam.

Hari Pertama

Tanggal 8 Mei 2009, saya dan istri meninggalkan hotel di Batam menuju ke Telaga Punggur, pelabuhan penyeberangan ke Bintan. Seperti halnya di pelabuhan-pelabuhan lain, Punggur riuh rendah dengan orang menawarkan tiket ferry. Saya bilang ke pengantar kami untuk mencarikan kapal yg segera berangkat. Saya beli 2 tiket @ Rp 35 ribu, lalu masuk ke dermaga. Ternyata yang disebut kapal itu lebih tepatnya berupa speed boat kecil yg berdaya tampung sekitar 20 orang. Wah, mengerikan juga, tapi kelihatannya exciting...

Akhirnya speed boat itu berangkat, dan pas di tengah laut, hujan tiba2 turun. Untungnya ombak tidak tinggi, sehingga tidak ada yg mabuk laut. Perjalanan ke Tanjung Pinang memakan waktu sekitar 1 jam, tapi boat itu sempat mampir juga ke pulau Lobam untuk menaikturunkan penumpang.

Sesampai di pelabuhan Tanjung Pinang, kami sudah dijemput mas Adi. Dia kaget karena saya datang naik speed boat. Dia kira saya datang naik ferry yg lebih besar, lebih tenang, dan ber-AC pula, dengan tiket cuma selisih Rp 5 ribu saja :-)

Kami langsung ke Lagoi, daerah yg katanya punya pantai yang cantik. Ternyata Lagoi jauh juga, sekitar 75 km dari Tj Pinang. Untungnya jalan di Bintan ini bagus, semua hotmix. Bedanya dengan di Jawa, selama perjalanan tidak banyak kendaraan lain yg lewat... Sayangnya mas Adi tipe sopir yang tidak bisa ngebut, tidak seperti saya :-p

Sesampai di Lagoi, saya agak heran. Lingkungannya tertata rapi, tapi sepi sekali. Di depan jg ada satpam yg menanyakan identitas kami dan keperluan kami ke sana. Aneh...seperti daerah terlarang saja. Dugaan saya ternyata benar. Lagoi adalah kawasan terbatas. Mirip dengan Nusa Dua di Bali. Lagoi memang dikembangkan untuk resor-resor internasional, dan yang bikin saya jengkel, resor-resor itu dengan seenaknya mengakuisisi pantai-pantai cantik tsb untuk keperluan privat mereka. Di Lagoi tidak ada pantai yang bersifat publik, semuanya properti resor-resor tsb. Dari sekian banyak resor, hanya satu yg mengijinkan orang luar seperti kami untuk masuk dan menikmati pantainya... Jengkel benar saya... ini pantai di Indonesia, tapi saya orang Indonesia sendiri dipersulit untuk menikmatinya..

Anyway, resor yg saya masuki, Bintan Laguna, memang indah. Pantainya juga bersih, berpasir putih. Tapi hati saya terlanjur mangkel, jadi kurang bisa menikmati pantai yg indah ini.

Dari Lagoi, kami ke pantai Trikora. Kalau yang ini memang pantai publik, dan seperti tipikal pantai publik di Indonesia, pantai Trikora kurang terawat dan agak kotor, meski sebenarnya pantainya sendiri cukup bagus. Bentangan pasir putihnya cukup lebar, dan pantainya sendiri cukup panjang. Kami tidak berlama-lama di pantai Trikora, karena hari sudah cukup sore.

Hari Kedua

Setelah checkout dari hotel, kami ke pulau Penyengat, sebuah pulau kecil sekitar 2 km dari Tanjung Pinang. Kami menyeberang menggunakan pompong, perahu kayu bermesin berkapasitas sekitar 10 orang. Pompong ini baru akan berangkat jika penumpang sudah cukup banyak (a.k.a. ngetem :-) ). Tarifnya murah saja, Rp 5 ribu per orang.

Di pulau Penyengat ada masjid peninggalan Sultan Riau yg dibangun pada tahun 1832. Uniknya, masjid ini dibuat tidak menggunakan semen, tetapi dengan kuning telur! Sulit membayangkan berapa banyak telur yg digunakan untuk membangun masjid ini. Warna masjidnyapun aslinya kuning (meskipun sekarang sudah dicat ulang). Meskipun dibangun dengan kuning telur, kekokohannya tidak diragukan. Dan begitu masuk ke dalam, ada hawa spiritual yg menyejukkan. Saya merasakan ketenangan dan kedamaian di dalamnya. Sepertinya masjid ini memang menyimpan aura positif yang besar...

Setelah berjalan-jalan sejenak mengitari pulau Penyengat, kami kembali ke Tanjung Pinang untuk mencari oleh-oleh sebelum pulang. Pilihan kami jatuh pada otak-otak. Ada dua jenis: putih dan merah. Yang merah agak pedas, dan dicampur dengan ikan sotong. Rasanya? Hmm... yummy...

Akhirnya sekitar jam 12 kami kembali ke Batam, kali ini naik ferry beneran yg lebih nyaman :-)
Sesampai di Punggur, kami terus ke Hang Nadim untuk meneruskan perjalanan ke Yogya.

Bintan sesungguhnya menarik, jika saja ada ruang yang lebih banyak bagi publik untuk menikmatinya... Memisahkan diri tanpa memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungannya secara keseluruhan hanya akan membuat pariwisata Bintan tidak berakar secara kokoh. Jika ini terjadi, keberlanjutannya bisa diragukan...

Foto-foto tentang perjalanan ke Bintan bisa dilihat di web album saya.

Sunday, April 12, 2009











Pacitan, 10-11 April 2009

Dipicu oleh sebuah posting di Plurk ttg beberapa pantai dan goa yg indah, saya langsung punya keinginan untuk bertualang ke sana. Waktupun tiba saat liburan paskah kemarin. Malam sebelumnya saya browsing informasi tentang medan yang akan dihadapi, termasuk rute perjalanannya. Maklumlah, saya belum pernah ke Pacitan dan saya ingin menempuh rute terpendek, melewati Wonosari, sementara saya belum pernah traveling lebih jauh dari Wonosari. Akhirnya saya mendapatkan beberapa petunjuk tentang rute dan peta yang kira-kira bermanfaat nantinya, meskipun saya tetap tidak bisa membayangkan trip yang akan saya jalani.

Nixon Glenn menuliskan perjalanannya menjelajah pantai dan goa di Pacitan di blog Wordpressnya. Tracking GPS untuk rute perjalanan dari Wonosari ke Pacitan bisa dilihat di sini.

Berdua dengan istri, kamipun berangkat pagi-pagi langsung menuju Pacitan. Jalan beraspal hotmix mulus kami lalui sampai keluar Semanu. Memasuki Provinsi Jawa Tengah, mulailah jalan menyempit dan agak bergelombang menyambut kami. Medan juga mulai naik turun berkelok menyusuri pinggang bukit-bukit yang bertebaran sepanjang Pulau Jawa bagian selatan. Untungnya jalur ini cukup sepi, sehingga perjalananpun cukup lancar. Di perempatan kota kecamatan Giritontro, ada petunjuk jalan ke arah pantai Nampu. Saya pernah mendengar pantai yang katanya cukup bagus ini, jadi saya catat saja di dalam hati. Besok pulangnya saya ingin mampir ke pantai ini.

Tidak lama setelah masuk ke Provinsi Jawa Timur, jalan tiba-tiba melebar kembali dan mulus. Tidak lama setelah itu, saya melihat ada petunjuk kecil: pantai Klayar belok ke kanan. Segera saya ikuti jalan kecil namun kelihatannya cukup bagus tsb. So far so good...begitu pikir saya, tetapi pikiran itu segera saja pecah berantakan setelah beberapa km kemudian jalan berubah menjadi jelek. Aspal mengelupas, bahkan di beberapa bagian, sudah tinggal bebatuan saja. Sebenarnya saya merasa sayang juga dengan mobil Stream yang biasanya hanya menyentuh aspal mulus, tetapi sudah kepalang tanggung... Jarak belasan km rasanya forever...

Pantai Klayar

Perasaan jengkel dengan kondisi jalan yg begitu parah seketika terhapus saat melihat pantai Klayar dari kejauhan. View dari atas sungguh menakjubkan, tidak mengherankan jika view ini menjadi salah satu icon pantai Klayar. Deretan pohon kelapa menjadi latar depan dari pantai pasir putih yang diapit oleh karang-karang kokoh... Kami sampai sekitar jam 11, waktu yang tepat karena laut sudah agak surut dan langit cukup cerah.

Daya tarik pantai Klayar adalah formasi karang yang membentuk bangun serupa sphinx di Mesir. Berada di sebelah kiri pantai, formasi batuan ini bisa dipanjat saat laut sedang tidak pasang. Di atas batu sphinx ini permukaannya datar dan halus, tidak seperti karang pada umumnya yang kasar dan tajam. Tapi berhati-hatilah, karena di bawah batu ini ombak dapat sewaktu-waktu menghantam dan airnya bisa naik ke atas. Di karang ini juga ada semburan air yang melalui celah-celah batuan, membentuk semacam geyser. Rasanya segar terkena semburan butir-butir air, meskipun asin rasanya...

Warna air di pantai Klayar juga menarik. Batas antara warna hijau dan biru terlihat jelas, sehingga komposisi warna air laut dan pasir (biru, hijau, putih) menjadi sangat bagus untuk diabadikan. Apalagi jika diambil saat ombak bergelora menghantam batu karang...

Pantai Klayar sangat sepi. Pengunjung yang ada saat kami datang cuma beberapa orang saja, dan mereka cuma duduk-duduk di warung-warung. Mungkin pengunjung malas datang ke sana karena akses jalan yang kurang baik. Tapi dengan tidak banyaknya pengunjung, pantainya jadi bersih, tidak ada kotoran sama sekali.

Akhirnya setelah puas menikmati kelapa muda, kamipun meninggalkan pantai Klayar. Tujuan berikutnya: goa Gong. Kata penjual kelapa muda, goa Gong tidak jauh dari pantai Klayar, jadi kamipun setuju untuk mengunjunginya terlebih dahulu.

Goa Gong

Pacitan menggambarkan dirinya sebagai "kota 1001 goa". Goa Gong adalah salah satunya. Goa ini terletak di desa Bomo, kec. Punung. Beda dengan pantai Klayar, goa Gong lebih mudah diakses dan sudah tertata rapi, sudah tersentuh oleh pengelola pariwisata. Dari tempat parkir ke pintu goa, kami harus berjalan sekitar 150m. Di pintu goa kami disambut oleh banyak ibu-ibu yg menawarkan senter, maklum di dalam goa penerangannya tidak mencukupi.

Setelah menyewa 1 senter, masuklah kami. Pertama masuk, sepertinya goanya sempit, tapi semakin ke dalam semakin luas. Di tempat-tempat tertentu dipasang lampu penerangan dan fan, karena memang hawanya panas sekali. Lantai guanya licin karena basah, untungnya ada tempat berpegangan tangan sepanjang rute menyusuri gua.

Panjang rute di dalam gua sekitar 200m, dan di sepanjang jalan tsb. kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Berbagai bentuk stalagtit dan stalagmit terpajang di sekitar kami, menjadi bukti nyata karya bumi selama berjuta-juta tahun. Di ujung terdalam, ruang goa membesar, seperti halnya hall theater. Jika saja tata cahayanya diatur dengan baik, kesan kebesaran (grandeur) dari goa ini akan dapat lebih diekspos.

Oya, kenapa goa ini dinamai goa Gong? Karena beberapa stalagtit jika dipukul akan mengeluarkan suara seperti suara gong...

Kami tidak berlama-lama di goa Gong. Tujuan berikutnya: pantai Watukarung. Perjalanan menuju pantai Watukarung kurang lancar karena kami harus berkali-kali bertanya tentang rute jalannya. Hampir tidak ada petunjuk jalan ke obyek-obyek wisata ini... Pemkab Pacitan seharusnya memikirkan masalah-masalah kecil tapi vital spt ini. Bagaimana turis mau datang ke obyek-obyek yang indah-indah ini, kalau informasinya kurang dan petunjuk menuju lokasipun tidak ada. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang tidak mendukung.

Sedikit catatan untuk para pengunjung ke pantai-pantai di Pacitan. Semua jalan menuju pantai harus menembus pegunungan, sehingga jalannya berkelok-kelok, naik turun. Lebar jalan tidak lebih dari 3-4m, sehingga diperlukan keahlian khusus dalam mengemudikan kendaraan, terutama jika berpapasan dengan kendaraan lain. Tidak disarankan membawa kendaraan ber-cc kecil atau sedan dengan clearance yang rendah, atau mobil berbadan lebar seperti Kijang Innova atau Hyundai Trajet.

Pantai Watukarung

Pantai Watukarung memiliki beberapa jalan akses. Saat memasuki desa Watukarung, ada pantai yang ada tempat pelelangan ikan (TPI), tapi pantai ini kurang menarik. Kami terus menyusuri rumah-rumah penduduk, dan mengamati ada jalan-jalan kecil yg dibangun menuju ke pantai. Kami memilih salah satu jalan kecil, dan pantai yang indah terdapat di belakang rumah-rumah tersebut.

Sama seperti pantai Klayar, pantai ini juga sepi. Cirinya adalah batu-batu karang yang bertebaran. Karang-karang ini lebih terekspos saat kami ke sana, karena laut sedang surut. Pantainya agak aneh menurut saya. Di bibir pantai tergelar pasir putih yang lembut, tetapi strip pasir putih yang lebarnya sekitar 10 meter ini segera berganti dengan koral dan karang yang keras. Saat laut pasang, koral dan karang ini tidak akan terlihat, dan sangat berbahaya untuk bermain-main di sana, karena jika terjatuh, jelas akan terluka.

Saat kami berjalan-jalan di pantai, banyak penduduk sedang mencari udang kecil. Mereka menangkap udang-udang yg bersembunyi di balik koral dengan menggunakan capit dari bambu. Gerakan para pencari udang ini begitu gesit dalam menggerakkan capitnya, mengingatkan saya pada film-film kungfu yang dulu sering saya tonton..

Sayangnya view di pantai Watukarung agak kurang cerah karena siangnya sempat turun hujan. Langitnya tidak biru lepas karena banyak awan menggantung. Akhirnya kamipun meninggalkan Watukarung, menuju pantai di dekatnya: Srau.

Pantai Srau

Pantai Srau adalah pantai yang datar dan lebar, berpasir putih. Topologinya mirip dengan pantai Klayar, hanya saja karang-karangnya lebih monoton bentuknya. Morfologinya seperti pantai Watukarung, selepas pasir putih langsung disambut konfigurasi koral dan karang.

Yang menarik di Srau adalah barisan pohon kelapa yg membuat pantai ini agak "hijau", meskipun tidak cukup teduh untuk dijadikan perlindungan dari panas yg cukup menyengat.

Kami tidak terlalu lama di Srau, karena kelihatannya istri saya sudah cape. Apalagi saat itu sudah jam 13 lebih, dan belum makan siang juga. Sayangnya lagi, di Srau (dan di tiap pantai lain yg kami kunjungi), tidak ada warung yg cukup representatif. Jadi buat anda yg ingin berkunjung, siap-siaplah dengan bekal makanan yang cukup. Kalau minuman sih cukup banyak tersedia di warung-warung kecil yang ada.

Kami akhirnya memutuskan untuk menuju ke kota Pacitan untuk cari penginapan. Di perjalanan, kami mampir di warung yg jual makanan ikan laut. Sayangnya banyak menu yg sudah habis, jadi akhirnya kami makan ikan tengiri goreng dan bbrp sayur. Yang bikin kami terkejut adalah semua itu (termasuk minum) untuk kami berdua hanya dihargai Rp 20 ribu saja... jelas yg seperti ini tidak bisa kami jumpai di Yogya :-)

Pantai Teleng Ria

Kira-kira 4 km menjelang kota Pacitan, ada petunjuk jalan ke pantai Teleng Ria. Ini adalah obyek wisata terdekat dari kota. Meskipun badan sudah lelah, kami coba masuk juga ke lokasi ini. Bayarnya mahal, Rp 12 ribu, dan kami menyesal krn di dalam tidak ada apa-apanya. Sepertinya mau dibangun kompleks taman ria, tetapi pembangunannya terbengkelalai dan tidak jelas, akhirnya cuma ada beberapa bangunan kosong dan tidak terawat serta pantai yang datar dan kering.

Kalau dilihat via Google Maps, sebenarnya pantai ini punya potensi besar untuk dikembangkan: bibir pantai yg lebar dan pantai yg panjang (mungkin sekitar 2-3km), dan berbentuk teluk (sehingga ombak laut selatan yg terkenal besar sedikit banyak bisa teredam). Tinggal bagaimana Pemkab Pacitan bisa mengoptimalkannya...

Setelah berkeliling di pantai Teleng Ria, kamipun masuk ke kota untuk cari penginapan. Berhubung belum tahu kondisinya spt apa, maka kami memutuskan utk melihat-lihat dulu. Penginapan pertama yg kami lihat, Hotel Pacitan, sepertinya milik pemerintah. Sayangnya waktu kami cari kamar ber-AC, katanya semuanya sudah terisi. Wah, hebat juga... :-) Akhirnya kami menemukan hotel lain, Bali Asri, yg lokasinya juga di kota. Kamar VIP ber-AC harganya Rp 210 ribu, plus nyamuk dan berdebu krn kelihatannya jarang ditempati... :-D Anyway, kami sudah siap menghadapi keadaan spt ini, jadi dibuat nyaman saja.

Malamnya kami cari makan di alun-alun, kebetulan ada kupat tahu dan cemue (ternyata setelah kami tanyakan, artinya wedang sekoteng...). Nyaman juga makan di alun-alun yang tidak terlalu ramai, beda sekali dengan Malioboro...

Cukup untuk hari ini, besok perjalanan akan dilanjutkan kembali...

Pantai Wawaran

Esok paginya kami checkout pagi, menuju ke pantai Wawaran. Setelah (kembali) bertanya-tanya tentang rute, kamipun berangkat. Sebelum berangkat sempat dikasih warning kalau jalan ke Wawaran jelek karena sedang diperbaiki. Saya agak underestimate peringatan itu, karena dari kemarinpun sudah menikmatinya. Tetapi kali ini memang betul-betul parah...

Yang jelek justru jalan selepas kota Pacitan menuju kecamatan Kebonagung. Jalannya rusak total karena di situ sedang dikerjakan proyek pembangunan jalan besar-besaran. Sepertinya ini jalan raya besar lintas selatan P. Jawa, karena lebar jalannya saja lebih dari 10 m. Praktis jalan aslinya sudah tidak kelihatan lagi, digantikan oleh jalan tanah dan bebatuan, dan kondisi ini berlangsung sepanjang kira-kira 7-8 km. Sungguh kasihan Stream saya...

Akhirnya penderitaan itu berakhir saat kami masuk ke jalan kecil ke pantai Wawaran. Jalannya kecil banget, mungkin sekitar 3 m lebarnya. Saya tidak bisa membayangkan jika bertemu dengan mobil lain pas di lokasi yang tidak memungkinkan. Tepi kanan tebing bukit, tepi kiri kebanyakan jurang... Tanjakan dan kelokannya juga jauh lebih menantang daripada jalan ke lokasi pantai-pantai lainnya. Jika tidak terampil mengemudi atau tidak punya nyali kuat, janganlah mengemudikan sendiri kendaraannya.

Sekitar jam 8.30, sampailah kami di pantai Wawaran. Pantainya mirip dengan pantai Ngrenehan di Gunung Kidul, berupa teluk yang diapit oleh karang di mulut teluknya. Saat kami datang, para nelayan sedang kembali dari melaut, jadi suasana pantai cukup ramai. Kami melihat bagaimana mereka saling bergotong-royong mengangkat perahu dari laut untuk diparkir di bagian atas pantai. Sungguh kehidupan desa yang sangat menyentuh...

Dari Wawaran, kami langsung ambil arah pulang ke Yogya. Rencana saya, sampai di Giritontro belok ke kiri, ke pantai Nampu. Tapi sesaat setelah belok kiri menuju Nampu, tiba-tiba mesin Stream tersendat-sendat. Saya lihat indikator bensin, masih menunjukkan 1/4. Tapi saya pernah mengalami kondisi yang sama saat perjalanan di Jawa Barat, ternyata itu gejala kehabisan bensin. Jadi indikator bensinpun bisa menipu...

Tanpa berani ambil resiko, saya putar balik, langsung membatalkan keinginan ke pantai Nampu. Segera mencari pompa bensin, ternyata yg terdekat masih 7 km dari situ. Alhamdulillah bisa sampai di pompa bensin, dan setelah diisi, benarlah kiranya...mesin jadi lancar kembali.

Alhamdulillah sekitar jam 13 kami sampai di rumah dengan selamat, dengan membawa kesan yang mendalam tentang keindahan obyek-obyek pantai di Pacitan. Saya masih hutang satu pantai di Nampu, dan katanya di Gunung kidulpun masih banyak pantai indah yg belum pernah saya kunjungi. Next time kalau ada liburan lagi...

Foto-foto bisa dilihat di web album saya.

Saturday, January 17, 2009








Bengkayang, Kalimantan Barat, 13-14 Januari 2009

Biasanya jika saya harus melakukan perjalanan terkait dengan pekerjaan, tujuannya adalah kota besar. Kali ini agak beda, saya harus melakukan perjalanan ke Bengkayang. Nama Bengkayang inipun baru saya dengar sekarang, dan saat itu saya tidak tahu di mana letak persisnya. Ternyata Bengkayang adalah sebuah kabupaten baru hasil pemekaran tahun 1999 di Kalimantan Barat. Letaknya di sebelah timur kota Singkawang.

Ibukota kab Bengkayang namanya Bengkayang juga. Janganlah membayangkan "kota" Bengkayang seperti ibukota kabupaten di Jawa. Sebelum menjadi ibukota kabupaten, Bengkayang hanyalah kota kecamatan, dan sepertinya setelah hampir 10 tahun kondisi tersebut masih belum banyak berubah, kecuali munculnya bangunan-bangunan baru berupa kantor instansi pemerintah kabupaten. Kegiatan ekonomi? Seadanya saja... Yang disebut "kota" hanyalah satu lajur jalan yang membujur dari barat ke timur kira-kira sepanjang 3-4 km. Tidak ada industri, tidak ada hiburan, tidak ada hotel yang representatif (saya menginap di mess milik pemerintah kabupaten) ... Saya tebak pembangunan di daerah ini masih sangat bergantung pada dana dari pusat. PAD-nya masih sangat jauh dari cukup untuk bisa mendukung pembangunan di daerah.

Yang menarik dari perjalanan saya kali ini adalah perjalanannya sendiri. Saat ini musim hujan, dan banyak banjir. Mobil yang saya tumpangi sempat harus balik arah karena jalan yang dilalui putus diterjang banjir. Rute alternatif yang dilewati melalui kota Singkawang, yang saat itu juga sedang kebanjiran. Dan di sepanjang jalan, halaman rumah-rumah penduduk juga penuh air, sebagian malah masuk ke dalam rumah.

Meskipun kelihatannya "menyeramkan", tapi banjir di Kalimantan tidak seperti banjir di Jawa yang bersifat menghancurkan secara massal. Mungkin karena tanah di Kalimantan masih relatif kosong. Mungkin juga karena banjir di sana relatif cepat surutnya. Masyarakat juga nampaknya sudah terbiasa menghadapinya. Di kota Singkawang misalnya, banjir malah dijadikan sarana hiburan. Anak-anak kecil ramai-ramai bermain air di jalan raya yang terendam.