Wednesday, December 31, 2008
Kampung Sampireun, Garut 26-27 Des 2008
Nama Kampung Sampireun sudah saya dengar kira-kira setahun yang lalu, ketika mencoba mencari obyek-obyek wisata yang bernuansa alami. Waktu membaca situs webnya (www.kampungsampireun.com), saya merasa sepertinya tempat ini menarik. Obyek utamanya sebenarnya sederhana: sebuah telaga yang tidak terlalu besar, dan di sekeliling telaga tsb dibuat cottages tempat menginap para pengunjung. Oh ya, Kampung Sampireun hanya menerima pengunjung yang menginap di sana, karena pada dasarnya yang dijual adalah resort-nya. Telaganya adalah bagian dari resort mereka, tidak dijual secara terpisah untuk day-trip visitors.
Obyek ini terletak di pinggir kota Garut, tepatnya di kecamatan Samarang. Ketika kami tiba di sana, yang pertama terasa adalah suasana tenang dan hening, seolah-olah waktu berhenti berjalan. Bagi orang kota, suasana seperti ini cocok untuk relaksasi, melepaskan diri dari rutinitas kerja. Apalagi cottage yang dibangun juga mengikuti arsitektur tradisional: berbahan bambu dan papan, serta kamar mandinyapun terbuka (tidak beratap). Kita bisa duduk-duduk di beranda cottage sambil menikmati suasana sekitar telaga dan orang-orang yang beraktivitas di situ.
Bagi anak-anak, telaga itu merupakan sumber inspirasi bermain yang luar biasa. Pengunjung diberi keleluasaan untuk berperahu berkeliling telaga, mendayung sendiri sepuasnya. Apalagi di telaga tersebut banyak sekali ikan, yang sengaja dipelihara dan tidak dikonsumsi, yang mudah sekali dipanggil muncul di permukaan dengan menyebarkan makanan pellet. Pada sore hari, ada layanan wedangan (minuman hangat) yang diberikan via perahu. Berperahu sambil minum wedang jahe hangat...alangkah nikmatnya.
Sunday, December 14, 2008
Korea, 8-13 Desember 2008
Sebagai bagian dari joint research antara KISDI dan Depkominfo, saya dan 14 government officials (ceileee...istilahnya tu lo...) diundang ke Korea Selatan untuk melakukan workshop dan diskusi serta kunjungan studi. Meskipun kunjungan kali ini adalah tugas negara, tapi saya agak santai karena posisi saya sebagai penggembira saja. Ndak perlu ngasih pidato-pidatoan. Well...seminar dan diskusinya tidak menarik untuk diceritakan, jadi saya akan bercerita tentang hal-hal yang fun saja.
Banyak pengalaman saya yang exciting banget. Pertama adalah mengikuti tradisi upacara minum teh ala Korea. Ternyata menyiapkan tehnya saja ribet banget, tapi it's worth karena teh Korea memang enak (tapi mungkin tidak cocok bagi para penggemar teh nasgithel). Sulit mendeskripsikan gimana rasanya, tapi pokoknya enak deh...
Setelah minum teh, saya dan rombongan disuruh memakai pakaian adat Korea yang gedombrongan itu. Menurut saya, dari 15 orang yg mencoba pakaian adat ini, yang paling pantes adalah pak Aizirman. Benar-benar mirip dengan pejabat tinggi Korea jadul...hehehe... Mbak Anny juga mirip gadis Korea, apalagi kalau matanya agak sipit... Kalau yg lain sih...wagu dilihatnya (termasuk saya) ... :D
Setelah selesai dengan sesi pakaian adat, kami juga disuruh mencoba membuat sketsa dengan proses pencetakan. Jadi kita sudah disiapkan cetakannya, kemudian dilumuri tinta, lalu kertas khusus cetak diletakkan di atas cetakan dan digosok-gosok. Di kertas akan muncul gambar yang tergurat dalam cetakan. Sejak awal saya sudah ragu-ragu, wong dari jaman SD dulu kalau disuruh bikin tugas ketrampilan selalu belepotan... Dan itulah yang terjadi...hasil cetakan saya mblobor, tintanya tebal banget :-( But it's okay kok...
Tapi pengalaman yang paling berkesan selama di negeri ginseng ini adalah mengikuti pelajaran main ski. Real ski (meskipun esnya buatan, bukan salju alami). Uh...ternyata susahnya minta ampun. Selama 2 jam pelajaran, saya cuma bisa meluncur dengan selamat kira-kira 10m. Belum bisa berhenti, apalagi belok-belok. Dan kalau sudah terjatuh, harus melepas sepatu dulu untuk bisa bangkit kembali...Akhirnya badanpun jadi pegal-pegal. But it's challenging, and I'm glad to try again... Dan 'prestasi' saya seperti itupun ternyata bukan yang paling buruk...ada juga yang baru mau pake sepatu ski saja sudah jatuh...hahaha (tapi saya ndak berani menyebut nama... :D, nanti kuwalat...). Atau yang cepet kembali ke basecamp, bukan karena ngebut main ski-nya, tapi krn papan skinya dicopot dan jalan kaki biasa :))
Bicara tentang Korea tentu saja tidak bisa lepas dari kemajuan teknologinya, khususnya teknologi komputer. Kami diajak ke Digital Media City, sebuah galeri berisi banyak sekali demo teknologi terkini. Banyak sekali aplikasi yang menggunakan teknologi layar sentuh, jaringan wireless, sensor, dan RFID. Demo yang serupa juga kami lihat sewaktu mengunjungi kantor SK Telecom. Kelihatannya mereka memang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu bersaing dengan negara-negara raksasa TIK lainnya. Kapan ya, Indonesia bisa seperti itu ?
Perjalanan kali ini memang menyegarkan, karena rombongan kami suka sekali guyon. Ndak kelihatan bahwa pimpinan rombongannya adalah seorang pejabat eselon I di Depkominfo. Pak Aizirman ternyata juga suka guyon. Apalagi pak Hamid dari UIN Jakarta. Yang mungkin agak kurang cocok buat saya adalah makanan. Sebenarnya saya gak ada masalah dengan masakan Korea, terutama kalau pas lapar...hehehe...tapi bagaimanapun juga gudeg atau pecel lebih melekat di lidah saya...
It's really fun... Silakan lihat foto-fotonya di web album saya. Dan jangan kaget kalau banyak foto yang ada Anny-nya :D She is really camera-addict... Tapi saya seneng motret dia krn wajahnya yg camera-face. Lebih baik saya motret dia daripada dia motret saya...Peace mbak...no offense loh... :-)
Wednesday, November 26, 2008
Makassar-Gorontalo 20-22 November 2008: The Journey of Fish Culinary
Sudah lama saya tidak pergi traveling agak jauh. Pergi keluar kota sih sering, tapi biasanya ke Jakarta, nothing special to tell...boring malah... Tanggal 20-22 November kemarin ada kesempatan ke Gorontalo via Makassar. First time to Gorontalo for me, jadi ya agak excited gitu.
Pas berangkat, transit di Makassar cukup lama, tapi karena harus berkunjung ke sebuah instansi pemerintah, jadi tidak terasa lama. Singkat kata, sampai Gorontalo sudah sore, hujan lagi. Kotanya kecil dan sepi, jalannya sempit, dan suasananya plain gitu... Rasanya tidak seperti berada di ibukota propinsi. Dan yang bikin discouraged adalah, kata orang hotel dan bapak-bapak dari instansi tempat saya berkunjung, tidak ada obyek wisata yang menarik di sekitar Gorontalo... Wah, bakal boring banget nih...
Untungnya saya agak terhibur dengan makanan. Menu utama orang Gorontalo adalah ikan, dan pada dasarnya saya tidak terlalu suka ikan. Tapi memang luar biasa...mereka memasak ikan-ikan laut, entah dengan bumbu apa, tapi rasanya...mak nyuusss... Dari sekian banyak menu ikan, yang paling saya suka adalah ikan woku balanga, seperti pepes tapi berkuah. Untungnya lagi ikan-ikan yg dimasak itu durinya besar-besar, jadi tidak sulit memilah-milahnya. The thing that I hate most from fishes is their small bones!
Meski kotanya kecil, tapi kelihatannya Gorontalo relatif aman dari kriminalitas. Saya lihat banyak motor yang ditinggal pengendaranya tanpa dikunci. Ternak (terutama sapi) juga dibiarkan berkeliaran di jalan tanpa takut diambil orang lain.
Pulangnya saya juga transit di Makassar. Kali ini transitnya lebih lama lagi, jadi saya dan teman mampir ke rumah kakak. Rumahnya berjarak sekitar 300m dari pantai Losari. Losari sekarang beda dengan 2-3 tahun yang lalu. Bersih dan menarik. Apalagi ada public ground yang sengaja dibangun agak menjorok ke laut. Makassar benar-benar kelihatan membangun. Di sebelah pantai Losari juga ada kompleks Celebes Convention Center yang megah. Belum lagi kalau melihat bandara barunya yang megah. Saya rasa ini adalah bandara terbagus di Indonesia, mengalahkan Soekarno-Hatta.
Saat makan siang, sekali lagi menunya ikan :-) Kali ini yang dipesan adalah ikan aneh, entah apa namanya. Bentuknya mirip ikan gembung (pokoknya jelek banget) dan kulitnya keras sekali. Rasa dagingnya cukup enak, tapi yang bikin heran adalah ikan ini tidak punya duri. Yang ada adalah semacam tulang belakang yang membujur dari kepala sampai ekor. Katanya sih ikan ini hidupnya di dasar laut, duduk tenang menunggu mangsa...
Lengkaplah sudah perjalanan ini, cocok kalau diberi judul "perjalanan kuliner: ikan"...
Foto-foto ada di Web album saya.
Sudah lama saya tidak pergi traveling agak jauh. Pergi keluar kota sih sering, tapi biasanya ke Jakarta, nothing special to tell...boring malah... Tanggal 20-22 November kemarin ada kesempatan ke Gorontalo via Makassar. First time to Gorontalo for me, jadi ya agak excited gitu.
Pas berangkat, transit di Makassar cukup lama, tapi karena harus berkunjung ke sebuah instansi pemerintah, jadi tidak terasa lama. Singkat kata, sampai Gorontalo sudah sore, hujan lagi. Kotanya kecil dan sepi, jalannya sempit, dan suasananya plain gitu... Rasanya tidak seperti berada di ibukota propinsi. Dan yang bikin discouraged adalah, kata orang hotel dan bapak-bapak dari instansi tempat saya berkunjung, tidak ada obyek wisata yang menarik di sekitar Gorontalo... Wah, bakal boring banget nih...
Untungnya saya agak terhibur dengan makanan. Menu utama orang Gorontalo adalah ikan, dan pada dasarnya saya tidak terlalu suka ikan. Tapi memang luar biasa...mereka memasak ikan-ikan laut, entah dengan bumbu apa, tapi rasanya...mak nyuusss... Dari sekian banyak menu ikan, yang paling saya suka adalah ikan woku balanga, seperti pepes tapi berkuah. Untungnya lagi ikan-ikan yg dimasak itu durinya besar-besar, jadi tidak sulit memilah-milahnya. The thing that I hate most from fishes is their small bones!
Meski kotanya kecil, tapi kelihatannya Gorontalo relatif aman dari kriminalitas. Saya lihat banyak motor yang ditinggal pengendaranya tanpa dikunci. Ternak (terutama sapi) juga dibiarkan berkeliaran di jalan tanpa takut diambil orang lain.
Pulangnya saya juga transit di Makassar. Kali ini transitnya lebih lama lagi, jadi saya dan teman mampir ke rumah kakak. Rumahnya berjarak sekitar 300m dari pantai Losari. Losari sekarang beda dengan 2-3 tahun yang lalu. Bersih dan menarik. Apalagi ada public ground yang sengaja dibangun agak menjorok ke laut. Makassar benar-benar kelihatan membangun. Di sebelah pantai Losari juga ada kompleks Celebes Convention Center yang megah. Belum lagi kalau melihat bandara barunya yang megah. Saya rasa ini adalah bandara terbagus di Indonesia, mengalahkan Soekarno-Hatta.
Saat makan siang, sekali lagi menunya ikan :-) Kali ini yang dipesan adalah ikan aneh, entah apa namanya. Bentuknya mirip ikan gembung (pokoknya jelek banget) dan kulitnya keras sekali. Rasa dagingnya cukup enak, tapi yang bikin heran adalah ikan ini tidak punya duri. Yang ada adalah semacam tulang belakang yang membujur dari kepala sampai ekor. Katanya sih ikan ini hidupnya di dasar laut, duduk tenang menunggu mangsa...
Lengkaplah sudah perjalanan ini, cocok kalau diberi judul "perjalanan kuliner: ikan"...
Foto-foto ada di Web album saya.
Wednesday, June 18, 2008
York, 16 June 2008
Kota tua York ditempuh sekitar 80 menit dengan kereta dari Manchester. Sungguh kota yang mempesona, pandai memadukan antara modernitas dengan sejarah. Hal ini terlihat dari tataruang city center-nya, yang tersusun dari jaringan jalan-jalan kecil, tidak beraspal tapi beralaskan batu, dan khusus digunakan oleh pedestrian. Kesan tua terlihat sekali di city center, termasuk bangunan-bangunannya. Tapi kalau dilihat toko-toko di situ, akan muncul nama-nama Debenhams, Zara, McDonalds, yang semuanya itu menunjukkan trend kekinian.
York terkenal karena kastilnya. Ada museum kastil di sana, tetapi kami tidak masuk ke dalamnya, dengan alasan klasik -- biaya. Tapi paling tidak kami mengunjungi Clifford's Tower, sebuah menara pengintai yang dulu sekitar tahun 1190 ceritanya pernah digunakan sebagai tempat pelarian ratusan orang Yahudi yang diburu oleh masyarakat lokal untuk dipaksa berpindah agama. Karena terdesak dan tidak mau berpindah agama, akhirnya para Yahudi itu memilih bunuh diri secara massal.
Kami menjumpai pula pemakaman yang tidak seperti pemakaman pada umumnya. Terletak di tengah kota, di pinggir jalan raya, dan kesannya seperti taman biasa. Pemakaman ini digunakan untuk menguburkan sebagian korban wabah kolera yang mengganas pada tahun 1832.
York juga dikenal sebagai kota hantu. Banyak tempat yang menawarkan "tour rumah hantu". Saya menjumpai pula beberapa buku yang bercerita tentang hantu-hantu di York.
City center York memang tidak terlalu besar, tetapi lumayan juga kalau ditempuh dengan jalan kaki. Tapi berjalan kaki di City Center York sama sekali tidak membuat bosan. Menyenangkan malah. Banyak pemandangan berkesan Medieval, warna Romawinya kuat sekali.
Kapan ya, kota-kota tua di Indonesia bisa seperti ini ?
Foto-foto York bisa dilihat di http://picasaweb.google.com/lukito.nugroho/York16June2008.
Wednesday, June 11, 2008
Liverpool, 10 Juni 2008
Setelah dua hari lalu kami pergi ke Old Trafford, hari ini giliran Liverpool yang kami kunjungi. Perjalanan ke Liverpool ditempuh dalam waktu 50 menit dengan kereta api. Harga tiket pp 9 pounds, dan keretanya masih lebih bagus daripada kereta kelas eksekutif di Jawa.
Liverpool mirip dengan Manchester, banyak bangunan tuanya. Sedikit lebih kecil dari Manchester, Liverpool terletak di pinggir pantai. Ada banyak dock di sana, salah satu yang terkenal adalah Albert Dock. Sekarang dock ini disulap menjadi tempat wisata dengan berbagai atraksi, di antaranya adalah "museum" the Beatles (kita dapat menikmati The Beatles Story di sini), dan yang menarik adalah tour dengan kendaraan amphibi eks perang dunia II yang dinamai "the yellow duckmarine" (plesetan dari "the yellow submarine", lagu Beatles yang terkenal). The duckmarine ini membawa penumpangnya keliling kota, lalu ambyur mengelilingi dock-dock yang banyak terdapat di pinggir laut.
Menikmati Liverpool juga dapat dilakukan dengan mengikuti city tour naik bis double-decker yang terbuka atasnya. Bis berkeliling kota dan mampir ke tempat-tempat menarik. Penumpang dapat naik dan turun dengan bebas di halte-halte perhentian bis, dengan hanya sekali membayar saja. Saat akan naik di sebuah halte, terlihat dua buah toko merchandise dari dua klub sepakbola yang merupakan musuh bebuyutan: Liverpool dan Everton. Meski di lapangan keduanya bermusuhan, tapi toko merchandise mereka bersebelahan. Sayang sekali kami tidak bisa mampir ke Anfield ataupun Goodison Park. Kalau saja bisa, lengkaplah napak tilas sepakbola ini, karena dua hari lalu sudah sempat ke Old Trafford.
Satu hal yang disayangkan dari Inggris ini: harga yang mahal. Dengan kurs 1 pound kira-kira Rp 18 ribu lebih, harga-harga barang menjadi amat mahal. Souvenir kecil semacam gantungan kunci paling murah adalah 2 pound (hampir Rp 40 ribu), padahal barang yang mirip bisa kita dapatkan di Malioboro dengan harga maksimal Rp 5-7 ribu. Sebenarnya banyak merchandise yang ingin dibeli, tapi apa daya ...
Sunday, June 08, 2008
Old Trafford, 8 Juni 2008
Siapa yang bisa menyangka saya bisa menjejakkan kaki di stadion Old Trafford. Homebase Manchester United Football Club ini ternyata hanya berjarak kurang lebih 15 menit naik bis dari tempat tinggal adik. Dibandingkan dengan Senayan, jelas Old Trafford lebih kecil. Kapasitasnya hanya sekitar 60 ribu penonton, tapi stadion ini menjadi tempat tujuan wisata paling terkenal di Manchester. Dalam seminggu saja ada lebih dari 30 ribu wisatawan yang datang mengunjunginya. Tidak heran kalau Manchester United adalah klub sepakbola terkaya di dunia.
Kami memesan tiket tour keliling stadion, tetapi giliran kami baru 2 jam kemudian. Untuk mengisi waktu, kami masuk ke Megastore, toko merchandise milik MU. Toko yang didominasi warna merah ini memang sangat menggoda para fanatik MU dengan berbagai merchandise-nya, tetapi harganya cukup mahal. Kami juga masuk ke museum MU. Sejarah MU, para pemain terkenal, sampai penjelasan tentang kecelakaan pesawat terbang di Munich 6 Februari 1958 yang menewaskan 8 pemain MU, semua ada di sana. Selain itu ada juga memento seperti sepatu emas van Nistelrooy, kaus Giggs, piala-piala yang pernah dimenangkan (termasuk yang paling baru: Champions Cup 2008).
Tour dimulai tepat jam 14.20. Peter, sang tour guide, sangat berpengalaman dalam memandu tour kami. Dia hapal sekali facts and numbers tentang stadion Old Trafford dan MU-nya. Kami diajaknya berkeliling di tribun, masuk ke player's lounge, melewati lorong masuk lapangan, serta duduk di player's bench di tepi lapangan, tempat Sir Alex Ferguson dan timnya berada selama pertandingan berlangsung. Pada saat melewati lorong masuk lapangan, bahkan kami diperdengarkan musik pengiring yang disertai gemuruhnya sorak penonton -- seolah-olah kami adalah para pemain MU yang sedang memasuki lapangan hijau.
Well...ini pengalaman yang thrilling buat saya. Tidak heran kalau sepakbola telah berkembang menjadi sebuah industri yang mampu menyihir dunia...
Saturday, June 07, 2008
Trip to UK (1) - Manchester, 6 June 2008
Hari pertama di Manchester. Tidur selama 10 jam cukup untuk menyegarkan kembali badan ini setelah perjalanan selama 21 jam. Untungnya pesawat B777-300ER milik Emirates cukup nyaman dan inflight entertainmentnya top bgt (ada 500+) channels film, tv, radio, dsb. Belum lagi makannya mengalir tanpa henti.
Manchester sekarang sedang mengalami musim panas. Suhunya sempurna untuk jalan-jalan, sekitar 20 derajat Celcius. Udaranya segar, kotanya sendiri tidak terlalu ramai dan tidak terlalu besar. Yogya malah lebih ramai. Transportasi publik menggunakan bis dan tram, dengan jalur yang relatif ekstensif.
Yang agak menyiksa adalah waktu shalat. Selama musim panas, matahari berada di belahan bumi utara. Jam 2.30 sudah masuk subuh, sementara maghribnya baru jam 21.30. Baru bisa tidur malam setelah isya, artinya setelah jam 23.30. Saya tidak bisa merasakan bagaimana menjalani puasa dengan kondisi seperti ini.
Inggris termasuk negara yang mahal biaya hidupnya, tetapi biaya di Manchester tidak semahal di London. Sekali makan rata-rata sekitar 2-3 pound atau sekitar Rp 40-60 ribu. Tapi yang membuat saya heran, justru di Inggris tidak pernah ada siaran TV free untuk pertandingan-pertandingan sepakbolanya. Ada siaran berbayar, tapi orang memang lebih suka nonton langsung. Tiketnya ? Tergantung siapa yang main. Tiket untuk MU paling murah 35 pounds atau sekitar Rp 600 ribu !
Hari pertama di Manchester. Tidur selama 10 jam cukup untuk menyegarkan kembali badan ini setelah perjalanan selama 21 jam. Untungnya pesawat B777-300ER milik Emirates cukup nyaman dan inflight entertainmentnya top bgt (ada 500+) channels film, tv, radio, dsb. Belum lagi makannya mengalir tanpa henti.
Manchester sekarang sedang mengalami musim panas. Suhunya sempurna untuk jalan-jalan, sekitar 20 derajat Celcius. Udaranya segar, kotanya sendiri tidak terlalu ramai dan tidak terlalu besar. Yogya malah lebih ramai. Transportasi publik menggunakan bis dan tram, dengan jalur yang relatif ekstensif.
Yang agak menyiksa adalah waktu shalat. Selama musim panas, matahari berada di belahan bumi utara. Jam 2.30 sudah masuk subuh, sementara maghribnya baru jam 21.30. Baru bisa tidur malam setelah isya, artinya setelah jam 23.30. Saya tidak bisa merasakan bagaimana menjalani puasa dengan kondisi seperti ini.
Inggris termasuk negara yang mahal biaya hidupnya, tetapi biaya di Manchester tidak semahal di London. Sekali makan rata-rata sekitar 2-3 pound atau sekitar Rp 40-60 ribu. Tapi yang membuat saya heran, justru di Inggris tidak pernah ada siaran TV free untuk pertandingan-pertandingan sepakbolanya. Ada siaran berbayar, tapi orang memang lebih suka nonton langsung. Tiketnya ? Tergantung siapa yang main. Tiket untuk MU paling murah 35 pounds atau sekitar Rp 600 ribu !
Wednesday, May 07, 2008
Hong Kong, 1-4 May 2008
Finally one of my wish came true when I visited Hong Kong this time. The bustling city itself is no longer special to me. What made the visit special was that I did it with my beloved wife.
On the second day we visited Ngong Ping 360. The place is famous for its 5.7km-long cable car line. Riding the cable car was a fantastic experience. The view was spectacular, we could see the airport from the height. The only bad thing was that the weather was not so friendly -- it was cloudy and raining. Dropping off at the Ngong Ping station, we went up to a giant Buddha statue. It was actually interesting to see the inside of the exhibits, but we ran out of energy since we had to climb hundreds of stairs to get to the top.
In the evening, we went to the ferry terminal at Tsim Sha Tsui and jumped on a ferry that brought us to Central. From there, we went to the Peak. Unfortunately, it was a foggy night, so the view was not very spectacular.
The initial plan for the third day was actually the Disneyland. However, I was not too interested in Disneyland for at least three reasons. First, I felt guilty to my children. Disney is actually for them, not for me. Second, there was nothing to do at Disney. Most of the attractions are for the strong-hearted persons. I am not that kind of man. And lastly, the ticket is costly. So we changes the plan. We just walked to see the nearby bird and flower markets, and watched small things sold in crowded stalls on the Fa Yuen street.
In the evening, I and my wife had the opportunities to ride a tram, a long way from Admiralty to Quarry Bay. When we looked at the tram, somehow it reminded us to Melbourne with its similar old-fashioned trams. Honestly, it was the "being together" feeling that thrilled me. Suddenly I remembered the time when I sat down at the Avenue of Stars on my previous visit to Hong Kong ... I made a promise that someday I would come back with my wife. Alhamdulillah I could realize my dream this time.
Saturday, January 12, 2008
Pabatu, Tebing Tinggi, 11 Januari 2008
Tanggal 10 Januari saya meninggalkan Medan menuju kompleks rumah Nana. Kata mas Deni, sang sopir yang mengantar saya, kira-kira perlu waktu 2 jam lebih dikit untuk sampai ke Pabatu. Dari Tebing (nickname untuk kota Tebing Tinggi) kira-kira 7 km ke arah Pematang Siantar.
Perjalanan cukup lancar. Setelah melewati kota Tebing, kami mengikuti jalan ke Pematang Siantar. Sekitar 7 km kemudian, kami sampai ke area Kebun Pabatu PTPN IV. Melewati kompleks kantor, kami masih terus, sampai ke daerah berbukit. Ternyata kompleks rumah ayah Nana terletak di atas bukit.
Kompleks eks kantor direksi PTPN VI ini memang nyaman untuk ditinggali. Rumah-rumah kuno yang dibangun lebih dari 50 tahun lalu bertebaran. Masing-masing punya halaman yang luas. Hmm... orang-orang kota yang terbiasa dengan flat dan apartemen pastilah iri dengan model rumah seperti ini. Nampaknya dulu kompleks ini memang dirancang untuk menjadi wadah yang mengeratkan komunikasi sosial. Tidak ada pagar pembatas antar rumah. Ada banyak tanah lapang yang bisa dipakai untuk social gathering. Ada pula gedung hiburan (katanya dulu pernah dipakai untuk bowling segala) yang kini sudah rusak. Ada pula sekolah TK yang murid-muridnya kebanyakan adalah pegawai kebun.
Saya tinggal di mess yang besar, yang masih dipakai jika direksi PTP IV datang berkunjung. Mess ini terletak di ujung kompleks, di dekat bangunan TK. Saya suka dengan landscape-nya. Terbuka, datar, dan ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Kesannya tranquil, tenang, dan damai. Sayangnya waktu itu saya sedang tidak dalam mood untuk menikmati ketenangan ini :(
Rumah pak Ramli, ayah Nana, terletak sekitar 300 m dari mess. Kamis sore itu rumahnya sudah mulai berhias, karena malamnya sudah akan dipakai wiridan. Saya datang wiridan jam 19an, ternyata ada 2 ronde :) Saya dapat berkatan juga, tapi terpaksa tidak saya bawa karena malah akan merepotkan nantinya. Yang saya bawa adalah bungkusan kertas kado, yang saya tebak isinya sarung karena Nana pernah cerita. Ternyata tebakan saya benar :D
Esok paginya, hari-H, saya datang pagi-pagi jam 7.30. Saya packing sekalian barang-barang saya, karena mau sekalian pamit langsung ke Polonia siangnya. Rencana semula sih mau pulang hari Sabtu, tapi karena ada sedikit masalah, saya memutuskan pulang awal -- ternyata tiket juga masih bisa diubah. Jam 7.30, rumah masih sepi. Saya motret-motret dulu, dan ngobrol dengan ayah dan uwak Nana. Calon pengantin pria datang jam 8 lebih sedikit, lalu prosesi ijab kabulpun dilaksanakan. Sederhana dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Khotbah nikahnya lucu, apalagi disampaikan dengan logat Batak dan suara yang khas :)
Setelah makan pagi, pengantin pria kembali ke pos mangkalnya di rumah sebelah untuk ganti baju. Pengantin putri juga demikian. Muncul kembali sekitar jam 10, kali ini dengan pakaian adat Tapanuli Selatan. Ingatan saya kembali ke masa 17 tahun yang lalu, saat saya menikah dulu. Istri saya juga pakai kostum adat Lampung yang warnanya merah menyala, sama dengan yang dipakai Nana. Pakai hiasan kepala yang beratnya minta ampun. To tell the truth, waktu itu yang saya lihat bukan istri saya karena wajahnya sama sekali berubah. Nanapun kemarin juga demikian. It didn't look like you. Sorry mbak, ini pendapat jujur saya :)
Sekitar jam 10.30 diumumkan akan ada acara serah-serahan. Sebenarnya saya ingin melihatnya, tapi karena saya masih harus mencari oleh-oleh, maka saya putuskan untuk pamit. Kemarin ada rasa aneh waktu memberi ucapan selamat. Hard to tell, macam permen Nano-Nano, campur aduk gitu. Yang jelas, Nana sekarang bukan lagi Nana yang kemarin. Selamat untuk anda berdua ya... doa saya selalu menyertai...
Foto-foto ada di sini
Tanggal 10 Januari saya meninggalkan Medan menuju kompleks rumah Nana. Kata mas Deni, sang sopir yang mengantar saya, kira-kira perlu waktu 2 jam lebih dikit untuk sampai ke Pabatu. Dari Tebing (nickname untuk kota Tebing Tinggi) kira-kira 7 km ke arah Pematang Siantar.
Perjalanan cukup lancar. Setelah melewati kota Tebing, kami mengikuti jalan ke Pematang Siantar. Sekitar 7 km kemudian, kami sampai ke area Kebun Pabatu PTPN IV. Melewati kompleks kantor, kami masih terus, sampai ke daerah berbukit. Ternyata kompleks rumah ayah Nana terletak di atas bukit.
Kompleks eks kantor direksi PTPN VI ini memang nyaman untuk ditinggali. Rumah-rumah kuno yang dibangun lebih dari 50 tahun lalu bertebaran. Masing-masing punya halaman yang luas. Hmm... orang-orang kota yang terbiasa dengan flat dan apartemen pastilah iri dengan model rumah seperti ini. Nampaknya dulu kompleks ini memang dirancang untuk menjadi wadah yang mengeratkan komunikasi sosial. Tidak ada pagar pembatas antar rumah. Ada banyak tanah lapang yang bisa dipakai untuk social gathering. Ada pula gedung hiburan (katanya dulu pernah dipakai untuk bowling segala) yang kini sudah rusak. Ada pula sekolah TK yang murid-muridnya kebanyakan adalah pegawai kebun.
Saya tinggal di mess yang besar, yang masih dipakai jika direksi PTP IV datang berkunjung. Mess ini terletak di ujung kompleks, di dekat bangunan TK. Saya suka dengan landscape-nya. Terbuka, datar, dan ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Kesannya tranquil, tenang, dan damai. Sayangnya waktu itu saya sedang tidak dalam mood untuk menikmati ketenangan ini :(
Rumah pak Ramli, ayah Nana, terletak sekitar 300 m dari mess. Kamis sore itu rumahnya sudah mulai berhias, karena malamnya sudah akan dipakai wiridan. Saya datang wiridan jam 19an, ternyata ada 2 ronde :) Saya dapat berkatan juga, tapi terpaksa tidak saya bawa karena malah akan merepotkan nantinya. Yang saya bawa adalah bungkusan kertas kado, yang saya tebak isinya sarung karena Nana pernah cerita. Ternyata tebakan saya benar :D
Esok paginya, hari-H, saya datang pagi-pagi jam 7.30. Saya packing sekalian barang-barang saya, karena mau sekalian pamit langsung ke Polonia siangnya. Rencana semula sih mau pulang hari Sabtu, tapi karena ada sedikit masalah, saya memutuskan pulang awal -- ternyata tiket juga masih bisa diubah. Jam 7.30, rumah masih sepi. Saya motret-motret dulu, dan ngobrol dengan ayah dan uwak Nana. Calon pengantin pria datang jam 8 lebih sedikit, lalu prosesi ijab kabulpun dilaksanakan. Sederhana dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Khotbah nikahnya lucu, apalagi disampaikan dengan logat Batak dan suara yang khas :)
Setelah makan pagi, pengantin pria kembali ke pos mangkalnya di rumah sebelah untuk ganti baju. Pengantin putri juga demikian. Muncul kembali sekitar jam 10, kali ini dengan pakaian adat Tapanuli Selatan. Ingatan saya kembali ke masa 17 tahun yang lalu, saat saya menikah dulu. Istri saya juga pakai kostum adat Lampung yang warnanya merah menyala, sama dengan yang dipakai Nana. Pakai hiasan kepala yang beratnya minta ampun. To tell the truth, waktu itu yang saya lihat bukan istri saya karena wajahnya sama sekali berubah. Nanapun kemarin juga demikian. It didn't look like you. Sorry mbak, ini pendapat jujur saya :)
Sekitar jam 10.30 diumumkan akan ada acara serah-serahan. Sebenarnya saya ingin melihatnya, tapi karena saya masih harus mencari oleh-oleh, maka saya putuskan untuk pamit. Kemarin ada rasa aneh waktu memberi ucapan selamat. Hard to tell, macam permen Nano-Nano, campur aduk gitu. Yang jelas, Nana sekarang bukan lagi Nana yang kemarin. Selamat untuk anda berdua ya... doa saya selalu menyertai...
Foto-foto ada di sini
Tuesday, January 01, 2008
Dusun Kelor, Turi, Sleman - 31 December 2007
This time our family holiday was filled with something different. Instead of having trips to big cities or tourism objects, we went to a small village just 20 km north of our home. The village, called Kelor, is located in Turi district, on the slope of Mt. Merapi. It is one of some villages promoted by Sleman regency as a tourism village, a tourist attraction with strong flavour of local tradition, food, environment, etc.
When we enter the village, we were greeted with a friendly welcome from our contact person, a local person who works as a marketer for the village. Then we were headed to a home where we would stay. It was owned by a family with 3 children, and our families soon got together easily. The host and hostess were very friendly, and they served us with their best courtesy. Typical warm welcome from villagers.
The village boasts itself with some interesting attractions, but we only tried two of them: trekking along a small river and fishing. The trek is actually for children: the river is small (only 3 m wide) and only 40 cm deep at the max. However, it is very interesting especially for children (and adults too) because the riverbed varies from flat and sandy to steep and rocky. Perfect for small adventures: quite challenging, but no dangerous things. We spent about 2 hrs to follow approximately 300 m trek. The long journey was not because it was difficult, but we had to stop many times waiting for the children enjoying themselves in the river. Oh, and it some parts the scenery is beautiful too. It provides a sense like we are walking in a deep rainforest.
The second attraction, fishing, is absolutely for children only. Don't think about real fishing. There was a 2x2 pool with a lot of fish, so when you throw the bait, you don't have to wait for a second to get a fish... That's quite good for children though, I can see thrilled sensations when the bait was taken by the fish :)
Overall, we were very satisfied with our holiday this time. Something different, and it's also good for my children since they now know that there are different people with different life, values, habits, etc. And one more thing, like other Sleman village, Kelor is also famous for the "salak" fruit.
Subscribe to:
Posts (Atom)